TARBIYAH AL-HAYAT DALAM AL-QURAN DAN NABI MUHAMMAD SAW
Abstract
Apabila orang meninjau penampilan nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin keagamaan dan mengkaji al Quran dengan cermat sebagai dokumen pengalaman-pengalaman wahyu beliau, orang pasti akan melihat bahwa suatu keterpaduan – dalam dan suatu kesadaran arah yang sangat jelas - walaupun banyak ragam situasi historis dan kebutuhan-kebutuhan mendesak yang dihadapi – terlihat dalam aktifitas nabin dan bimbingan al quran. Tentu saja, saya tidak berbicara mengenai efek-efek aktual yang ditimbulkan oleh ajaran ini pada pengikut-pengikut nabi Muhammad yang awal maupun yang akhir, yang akan dibicarakan dalam bagian mendatang, tetapi mengenai watak dankualitas ajaran ini, dipandang dalam settingnya, dengan rujukan kepada konteks historisnya di satu pihak dan kepribadian Nabi di lain pihak. Dalam bagian ini saya akan membahas ajaran ini dengan ciri-ciri utamanya dan penampilan Nabi tersebut secara garis besar, dan bukannya seluk beluk perinciannya, namun untuk menampakkan keaslian dan potensialitasnya. Tampaknya adalah pasti bahwa karean keterlibatan dan ketergantungan timbal baliknya, doktrin tentang Satu tuhan Pencipta-Pemelihara, tentang perlunya keadilan sosial-ekonomi, dan tentang pengadilan terakhir merupakan unsur-unsur pengalaman religius Muhammad uyang orisinil. Pengalaman ini sendiri membeberkan penolakan umum orang-orang Makkah untukmenerima ajarannya, gagasan tentang pengadilan dalam sejarah terhadap bangsa-bangsa sesuai dengan kualitas perilaku kolektif mereka, muncul dan memperoleh kekuatan yang mantap pada pertengahan dan beberapa tahun yang akhir dari periode Madinah, di mana, berkat kesempatan-kesempatan baru yang diberikan oleh tugas untuk membentuk tata sosial-politik yang berdasar pada etika, penuturan tentang pengadilan Ilahi bagi bangsa-bangsa yang terdahulu serta nasib mereka tak lagi diperlukan. Walaupun kesadaran akan Tuhan dan keyakinan akan Hari Akhir merupakan thema-thema yang kuat dan mendesak dal al-Qur’an, tak ada keraguan sedikitpun bahwa kepercayaan kepada Tuhan dan pertanggung jawaban manusia memainkan peranan fungsional yang ketat. Perhatian utama al-Qur’an adalah perilaku manusia. Sebagaimana dalam terma-terma Kant tak ada pengetahuan ideal yang mungkin tanpa gagasan-gagasan regulatif tentang akal (seperti seabb pertama), maka dalam terma-terma al-Qur’an tidak ada moralitas riil yang mungkin tanpa gagasan-gagasan regulatif tentang Tuhan dan Pengadilan Akhir. Lebih lanjut, fungsi moral mereka menuntut bahwa gagasan-gagasan tersebut ada untuk pengalaman religio-moral dan tak mungkin hanaya sebagai postulat-postulat intelektual yang harus “diimani”. Tuhan adalah titik labuh transenden dari atribut-atribut seperti hidup, kreativitas, kekuasaan, rahmat dan keadilan (termasuk pembalasan yang setimpal) dan nilai moral yang harus ditunduki oleh masyarakat manusia yang ingin survive dan makmur – suatu perjuangan yang tak henti-hentinya demi kebaikan. Perjauangan yang terus-menerus ini adalah nada kunci dari eksistensi normatif manusia dan merupakan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan yang diwajibkan kepadanya secara tegas oleh al-Qur’an.