Nabi, Poligami? (Membaca Poligami Nabi dengan Kerangka Hermeneutik Wilhelm Dilthey)

Abstract

Sejarah peradaban Islam mencatat, paling tidak ada tiga persoalan krusial berkaitan dengan relasi seksual laki-laki dan perempuan. Masing-masing menyimpan problematikanya sendiri-sendiri dalam skala yang cukup rumit dan menyulut perdebatan yang tak pernah selesai. Ketiga-tiganya sama-sama muncul ke permukaan sebagai warisan kebudayaan pra Islam yang sangat akut dan mengakar. Dalam perjalanannya masing-masing mengalami proses sosio-kultural-politik yang berbeda. Ada yang hilang, ditolak secara luas, dan diterima secara luas. Tiga masalah tersebut adalah relasi seksual karena milik al-yamin (perbudakan), relasi social mut’ah atau kawin kontrak, dan ta’adudud al-zaujah atau poligami. Isu yang pertama, perbudakan, hilang tanpa ada kejelasan status hukumnya dalam bentuknya yang eksplisit. Isu yang kedua, mut’ah, ditolak oleh mayoritas ulama sunni. Isu ketiga, ta’adud al-zaujah, diterima secara luas, walaupun akhir-akhir ini mendapat tantangan baru, karena adanya pembacaan terhadap agama dengan berbagai metode yang belum pernah muncul pada masa silam. Poligami, pada saat ini merupakan isu yang menarik dan banyak dibicarakan public, ketika banyak tokoh-tokoh nasional melakukan poligami. Kasus terakhir adalah ketika A’agim berpoligami. Reaksi masyarakat terbelah menjadi dua kelompok. Disatu sisi ada yang mendukung dengan landasan teoligis surat al-Nisa’ ayat ke 4 dan fakta historis memang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pernah berpoligami, tetapi dipihak lain, juga banyak yang menolak, selain juga berdasarkan penolakan bahwa surat al-Nisa’ ayat 3 tidak bicara persoalan poligami secara khusus, tetapi terkait dengan kasus lain, juga, karena memang secara psyikologis tidak ada seorang wanita pun yang mau dimadu. Memahami poligami Nabi Muhammad, pada dasarnya kita mempelajari sejarah poligami Nabi. Didalam memahami poligami Nabi, paling tidak ada dua hal yang harus menjadi perhatian, pertama adalah wajah eksterior, dimana secara eksterior peristiwa poligami Nabi dilihat dari ruang dan waktu. Kapan Nabi berpoligami dan dalam situasi bagaimana Nabi berpoligami. Kedua adalah wajah interior, yaitu menyangkut kondisi kejiwaan Nabi ketika melakukan poligami, atas dasar apa Nabi berpoligami. Memahami poligami Nabi adalah hal penting, karena ada sebagian umat Islam melakukan poligami hanya semata-mata melihat fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad berpoligami, poligami dilihat sebagai suatu ibadah ritual karena mengikuti apa yang dilakukan Nabi, tidak mempertimbangkan aspek-aspek yang lain, misalnya aspek social, ekonomi, politik, psikologis dan lain sebagainya