PESANTREN SALAF DI TENGAH PRAGMATISME PENDIDIKAN

Abstract

Ironis memang, jika pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di nusantara justru nasibnya terpinggirkan di tengah-tengah hingar bingar sistem pendidikan nasional. Pesantren (dalam kasus ini pesantren salaf) semakin tak terminati oleh para orang tua dan juga para peserta didik. Mereka lebih suka pada lembaga pendidikan formal mulai SD, SLTP, SLTA hingga perguruan tinggi, untuk kemudian setelah lulus, bekerja sebagai pegawai atau karyawan pada sejumlah instansi. Maka, terangkatlah status sosial keluarga tersebut seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan. Sekolah tak ubahnya investasi komersial. Para orang tua rela merogoh kocek tak sedikit demi angan-angan keuntungan, hidup makmur serba berkecukupan, serta strata sosial terpandang di masyarakat. Masih untung, jika proses pendidikan dilalui dengan “wajar”, peserta didik mampu menyerap ilmu pengetahuan, berkemampuan handal, hingga “layak” mendapatkan kehidupan sejahtera sebagai “imbalan”nya. Namun, ironisnya, seringkali gelar lulusan dan kesarjanaan hanya dijadikan batu loncatan dan sekedar formalitas semata untuk dapat mengenyam pekerjaan yang layak. Padahal, seperti kebanyakan terjadi, porsi pengetahuan dan keterampilan yang didapat semasa sekolah amatlah minim dibandingkan target penyampaian materi, atau bahkan tidak sama sekali! Masa sekolah seringkali dipenuhi hura-hura dan pergaulan bebas. Maka, meminjam motto sebuah iklan, “Jalan pintas pun dianggap pantas”, terjadilah jual beli dan pemalsuan ijazah, kebocoran soal ujian negara di berbagai tempat, hingga protes keras peningkatan standar kelulusan. Di sisi inilah, sebenarnya pesantren salaf menemukan momentum menegakkan kembali misi mulia pranata pendidikan, sebagai sebuah investasi tak sekedar komersial, akan tetapi lebih dari itu, membentuk pribadi manusia yang lebih manusiawi, mampu menjalankan fungsi sosialnya dengan muatan nilai dan keahlian. Hal ini karena pesantren salaf tidak mengumbar janji masa depan secara finansial. Lulusan pesantren salaf tak lantas menyandang sederet gelar dan mengantongi ijazah formal yang “laku” dijajakan di kantor-kantor pemerintahan dan sejumlah instansi. Pesantren salaf “hanya” menjanjikan sekerat ilmu pengetahuan agama untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan keras di masyarakat.