TAKHRIJ AL-HADITS TENTANG KEGUNAAN DZIKIR
Abstract
Kitab-kitab Hadits yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya lama setelah nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut, terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadits itu menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi. Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadits yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut dapat dijadikan sebagi hujjah atau tidak, terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Dalam rangka menjaga otentisitas hadits, ada berbagai aturan yang harus dipatuhi untuk mengutip hadits untuk keperluan penulisan ilmiah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menetapkan kutipan hadits harus ditulis dengan huruf Arab, dilengkapi dengan sanad dan rowinya. Di samping, M. Syuhudi Ismail dan Ali Anwar menambahkan pengutipan hadits harus mencatumkan referensi primer, yaitu kitab hadits yang ditulis oleh mukharrij, seperti Sahih al-Bukhari atau minimal kitab kumpulan kutipan hadits, seperti Riyad al-Salihin. Ketika mengakhiri penjelasan tentang kekuatan prinsip dalam bukunya ESQ Model, Ary Ginanjar Agustian mengutip hadits yang artinya sebagai berikut, “Aku selaras dengan sangkaan hamba-Ku, dan aku bersama dengan hamba-Ku ketika dia mengingat Aku (berdzikir)” –Hadits Qudi- Ketika mengutip hadits di atas, Ary tidak menggunakan referensi, baik primer maupun sekunder. Dia juga tidak menyebutkan perawi maupun mukharrijnya. Penelitian ini berkesimpulan bahwa kwalitas hadits yang diteliti adalah shahih li dzatihi. Sementara makna dari hadits di atas adalah orang seharusnya menduga diterima permohonan ampunan ketika beristighfar, diterima taubatnya ketika bertobat, dan dikabulkan ketika berdo`a