TRADISI PENGAJIAN KITAB TUHFAH AR-RÂGIBÎN FÎ BAYÂN HAQÎQAH AL-ÎMÂN AL-MU’MINÎN WA MÂ YUFSIDUHU MIN RIDDAH AL-MURTADDÎN KARYA SYAIKH ARSYAD AL-BANJARI DI MASJID LAMA PALEMBANG
Abstract
Muhammad Arsyad al-Banjari adalah tokoh fenomenal di masyarakat Banjar sehingga segala jasa-jasanya selalu dikenang masyarakat ini. Jasa besar al-Banjari adalah menyebarkan Islam dengan intensif pada masyarakat Banjar. Demi usahanya ini akhirnya dia melakukan berbagai aktivitas, salah satunya adalah menulis berbagai pemikiran yang dimiliki. Beberapa tingkah laku keagamaan yang dominan pada masyarakat Banjar yang cenderung teosentris bisa diidentifikasi dan direlasikan dengan pengaruh dari Tuhfah ar-Râgibîn. Kitab ini memfokuskan masalah pada; Pertama, kecenderungan metodologi kitab Tuhfah ar-Râgibîn. Kedua, upaya menganalisa relevansi metodologi kitab tersebut untuk kepentingan kekinian masyarakat masjid lama Palembang. Diharapkan dapat mengembangkan dan menghindarkan “tenggelamnya” salah satu khazanah intelektual Indonesia yang ada di tanah air, sekaligus memunculkan kesadaran perlunya melakukan aktualisasi terhadap pemikiran kalam Banjar dengan kondisi kekinian agar kalam tidak kehilangan maknanya terutama pada tradisi masyarakat masjid lama Palembang. Teori kesinambungan historis digunakan untuk mengungkap kondisi internal dan eksternal pada riwayat hidup al-Banjari dan kesejarahan kitab Tuhfah ar-Râgibîn. Dengan analisis metodologi akan diungkap kecenderungan metodologi yang ada pada kitab Tuhfah ar-Râgibîn. Teknik komparatif juga akan membantu penulis untuk memperjelas masalah dan mengurangi kemungkinan subyektivitas penulis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitab tersebut bercorak kalam tradisional yang berepistemologi bayâni, ini diidentifikasi pada adanya dua kecenderungan dominan dalam kitab tersebut yakni kecenderungan mengekspresikan keimanan murni (metodologi imani) dan kecenderungan pembelaan (metodologi pembelaan). Metodologi imani ditemukan dari awal tulisan Tuhfah ar-Râgibîn yang sudah dibuka dengan pujian beruntun kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, dan uraian selanjutnya pun adalah penjelasan yang dianggap mampu dan relevan dalam upaya memperkokoh keagungan dan kemuliaan Allah dan utusan-Nya serta keluarga dan sahabat utusan tersebut dan semakin mantap dengan mengkategorikan orang yang menentang atau mengganggu eksistensi Tuhan dan utusan-Nya serta keluarga dan sahabat utusan tersebut dengan predikat “bid’ah, “kafir” atau “sesat”. Metodologi pembelaan nampak kuat dengan pembelaan terhadap aliran Ahl Sunnah wa al-Jamâ‘ah dan menafikan aliran-aliran yang lain dan pembelaan terhadap aliran ini pun digunakan untuk melakukan kritik terhadap tradisi lokal yang masih bertahan yakni mayanggar banua dan mambuang pasilih, dengan menganggap tradisi tersebut sebagai perbuatan bid‘ah dalâlah. Inti dari ini semua adalah problem kehidupan yang berbeda dengan problema kekinian masyarakat masjid lama Palembang maka diniscayakan untuk membenahi sistem kalam yang lebih “membumi” agar kalam tetap memiliki peran yang bermakna dengan kemampuannya menjawab berbagai persoalan kontemporer masyarakat Palembang pada umumnya.