BUDAYA “KAWIN KYAI” Studi Terhadap Praktek Nikah Sirri Di Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon

Abstract

Regulation about the registration of marriage has been around a long time. Active role of the state in aspect of registration of marriage started early independence. That role was confirmed by the Act. No. 1 of 1974 on Marriage and regulations for its implementation which requires every registration of marriage for the sake of order and legal certainty. However, in the village of Cirebon Sinarrancang Mundu are 59, 35 % of the 246 families who do not heed the regulation that marry with only religious well-known as "kawin kyai". "Kawin kyai" is caused by internal factors (lack of understanding about the registration of marriage , religious ideology, indifference, and complex procedures) and external factors (role of Kyai [lebe' and the prince of the non- official] lack of socialization, the difficulty to accessing official registrar, negligence of village officials, the cost of marriage registration, the views of society, and culture "kawin kyai" in society. Meanwhile, the process of legal institutionalization find constraints on each component of the legal system, especially from the aspect of means and pre-means and authorized apparatus. Regulasi tentang pencatatan perkawinan telah ada sejak lama. Peran aktif negara dalam aspek pencatatan perkawinan dimulai sejak awal kemerdekaan. Peran tersebut dipertegas melalui UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya yang mengharuskan pencatatan bagi setiap perkawinan demi ketertiban dan kepastian hukum. Namun, di Desa Sinarrancang Mundu Cirebon terdapat 59, 35%  dari 246 keluarga yang tidak mengindahkan regulasi tersebut dengan menikah secara agama saja yang populer di kalangan mereka dengan “kawin kyai”. “Kawin kyai” dilatarbelakangi oleh faktor internal (rendahnya pemahaman tentang pencatatan perkawinan, paham keagamaan, sikap tidak acuh, dan prosedur yang rumit) dan faktor eksternal (peran Kyai [lebe’ dan penghulu non-resmi] minimnya sosialisasi, sulitnya mengakses pejabat pencatat, kelalaian aparat Desa, biaya pencatatan, pandangan masyarakat, dan budaya “kawin kyai” di tengah masyarakat. Sementara itu, proses pelembagaan hukum menemukan kendala pada setiap komponen dari sistem hukum, terutama dari aspek sarana dan pra sarana dan aparatur yang berwenang.]