KENISCAYAAN PENGGUNAAN ANALISIS GENDER DALAM STUDI AL-AHWĀL ASY-SYAKHSIYYAH

Abstract

Al-Ah}wāl asy-Syakhs}iyyah is one of the Islamic studies that seems containing many legal rules opposed to the concept of modern society. Therefore, the study of al-Ah}wāl asy-Syakhs}iyyah on the perspective of gender analysis is needed to answer the problems of Muslim society in facing democratization in which discourses on human rights and gender equality become its main issues. One of the efforts to reform the rules of al-Ah}wāl asy-Syakhs}iyyah is by understanding the asy-Sya>t}ibi>'s concept on ibadah and muamalah. According asy-Sya>t}ibi>, ibadah is pure God's rules, whose purpose can not be captured by the power of human reasoning, so that the provisions of ibadah have to be practiced as is stated in the Quran textually. In contrast, muamalat is rules on human relations where human become center, its purpose can be captured by reasoning, and muamalat provisons on the Quran should be understood by their perceived meaning, not their textual rules. In addition, an understanding of Islamic law should depart from the basic assumption that muamalah rules were revealed from the result of human interaction with their social conditions. [Al-Ah}wāl asy-Syakhs}iyyah merupakan salah satu studi Islam yang terlihat mengandung banyak aturan hukum yang bertentangan dengan konsep masyarakat modern. Dengan demikian, pembahasan ketentuan fikih bidang al-Ah}wāl asy-Syakhs}iyyah menurut perspektif analisis gender dirasa perlu dilakukan untuk menjawab problematika umat Islam dalam menghadapi arus deras demokratisasi dengan wacana hak asasi manusia dan kesetaraan gender yang menjadi isu utamanya. Upaya pembaharuan hukum al-Ah}wāl asy-Syakhs}iyyah bisa dilakukan dengan memahami konsep ibadah dan mu’amalah dari asy-Sya>t}ibi>. Ibadah merupakan hak Allah swt. secara murni yang tujuannya tidak bisa ditangkap oleh daya nalar manusia sehingga ketentuan nas} tentang ibadah ini harus diamalkan apa adanya. Berbeda dengan ibadah, muamalah adalah hak manusia yang bisa dinalar oleh daya pikir manusia sehingga yang menjadi acuan adalah makna dari nas}-nya, bukan ketentuan legal-formalnya. Selain itu, pemahaman tentang hukum Islam haruslah berangkat dari satu asumsi dasar bahwa hukum muamalah tidak lain adalah hasil dari interaksi manusia dengan kondisi sosialnya, di mana upaya kontekstualisasi merupakan sebuah keniscayaan, termasuk kajian al-Ah}wāl asy-Syakhs}iyyah dengan pendekatan analisis gender.]