PERKAWINAN BEDA AGAMA ANTARA ‘ILLAT HUKUM DAN MAQĀS'ID ASY-SYARI''AT

Abstract

Interfaith marriage is a form of marriage that occurs between people of different religion. Islam as the last religion gave guidance how Muslims perform a marriage process. In the Qur'an, the provisions of this marriage contained in the sura of al-Ma>'idah [4]: 5 containing the permissibility of a Muslim to marry a woman from ahl al-Kitab and sura of al-Baqarah [2]: 221 containing a prohibition for Muslim to marry non-Muslims. Law derived from the provisions of the sura of al-Ma>'idah [4]: 5 is a form of ibāhah/permissible instead of 'sunat', the more 'wajib'. When something is permissible it done and deliver to the harm, the actions could be banned, because the purpose of syari>‘ah (maqa>s}id asy-syari>‘ah) realize the benefit and avoid the harm. Perkawinan Beda Agama adalah suatu bentuk perkawinan yang terjadi antara orang yang berbeda agamanya. Islam sebagai agama terakhir telah memberikan tuntunan bagaimana ketika orang Islam melakukan suatu proses perkawinan. Dalam al-Qur’an, ketentuan tentang perkawinan ini terdapat dalam surat al-Mā’idah [4]: 5 yang berisi kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahl al-Kitab dan surat al-Baqarah [2]: 221 yang berisi larangan bagi orang Islam menikah dengan non muslim. Hukum yang diperoleh dari ketentuan surat al-Mā’idah [4]: 5 adalah suatu bentuk kebolehan (ibāhah/mubah) bukan ’sunat’, lebih-lebih ’wajib’. Ketika sesuatu yang mubah itu dilakukan dan mengantarkan kepada kemadaratan tertentu, maka perbuatan tersebut bisa dilarang, karena tujuan dari syari’at Islam (maqa>s}id asy-syari>'ah) adalah merealisasikan kemaslahatan dan menghindarkan kemadaratan.