HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA: Studi Komparatif antara Fikih Konvensional, UU Kontemporer di Indonesia dan Negaranegara Muslim Perspektif HAM Dan CEDAW

Abstract

Divorce is often regarded as the best solution to end a marriage. Normative juridical, legislation and conventional books, still legitimizes divorce case. But whether they are still relevant to be applied in this era especially in Indonesia? Divorce law in the conventional fiqh very relevant in the past, tends to position women as helpless party over the conduct of an abusive husband. Currently the book has been deemed incompatible with the demands of basic human rights as outlined in the Human Rights (Human Rights) and the CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), which actually prevent women from dichotomy and discrimination. While Law No. 1 of 1974 on Marriage and Presidential Instruction No. 1 of 1991 on KHI is still relevant, although should always be evaluated to produce laws that still exist in the coming era. This paper will examine the relevance of both the comparative - heuristic approach, as well as using human rights as a criterion and CEDAW. [Perceraian sering dianggap sebagai solusi terbaik untuk mengakhiri suatu perkawinan. Secara yuridis normatif, peraturan perundang-undangan dan kitab-kitab konvensional, tetap melegitimasikan perkara perceraian. Tetapi masihkah keduanya relevan untuk diterapkan di era ini, khususnya di Indonesia. Hukum perceraian dalam fikih konvensional yang sangat relevan pada zamannya, cenderung memposisikan perempuan sebagai pihak yang tidak berdaya atas perlakuan seorang suami yang semena-mena. Saat ini kitab tersebut dipandang sudah tidak sesuai dengan tuntutan hak dasar kemanusiaan yang dituangkan dalam HAM (Hak Asasi Manusia) dan CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang benar-benar menghindarkan wanita dari dikhotomi dan diskriminasi. Sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI saat ini masih relevan, kendati harus selalu dievaluasi untuk menghasilkan undang-undang yang tetap eksis di era mendatang. Tulisan ini akan mengkaji relevansi keduanya dengan pendekatan komparatif-heuristik, serta menggunakan HAM dan CEDAW sebagai tolok ukurnya.]