PIAGAM MADINAH DAN UUD RI 1945 (Telah Perbandingan Tentang Kedudukannya Sebagai Konstitusi Negara Republik)

Abstract

Dalam satu wilayah yang dihuni banyak orang, kemajemukan atau plural-itas merupakan sebuah realitas. Demikian halnya wilayah Madinah, ketika Muhammad SAW sebagai nabi sekaligus menjadi kepala negaranya, selama kurang lebih 13 tahun. Beliau menghadapi warga Madinah yang majemuk atau pluralik, termasuk dalam keyakinan keagamaan. Ada yang muslim, yang musyrik dan Yahudi. Dalam kondisi kemajemukan atau pluralitas ini, Nabi Muhammad SAW memprakarsai sebuah piagam perjanjian yang kemudian terkenal dengan Piagam Madinah antara kaum muslim, kaum musyrik dan kaum Yahudi, guna membina persatuan, kesatuan, kerukunan, dan keamanan seluruh warga Madinah. Sejalan dengan prakarsa nabi Muhammad SAW tersebut, pemerintah Republik Indonesia sejak awal kemer­dekaan tahun 1945 yang melihat warganya relatif lebih majemuk atau pluralik ada yang muslim, yang Katholik, yang protestan, yang hindu, yang budha dan yang aliran kepercayaan. Dirumuskanlah UUD 1945 sedemikian rupa y an g dapat mengakomodasi semua penganut keyakin­an agama tersebut, terciptanya persatuan, kesatuan, kerukunan dan keamanan seluruh warga negara Republik Indonesia. Antara Piagam Madinah dan UUD 1945 terlihat adanya kesamaan yang me­nonjol, baik ide maupun rumusannya. Baik Piagam Madinah maupun UUD 1945, ma­sing-masing menghendaki terbangunnya negara kesatuan yang kokoh dan dengan warga negara yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, yang anatara lain diwujudkan dalam bentuk prilaku yang berkemanusiaan. Tulisan ini akan menelusuri titik singgung antara Piagam Madinah dan UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi Negara.