PERILAKU POLITIK TRANSAKSIONAL (Menggagas Fenomena Praktek Politik Uang Dalam Pemilu)
Abstract
Kekuatan Politik, dimana dalam prosesi demokrasi seperti Pemilukada langsung untuk memilih bupati, walikota, gubernur atau anggota legislatif pada masa transisi demokrasi dewasa ini tidak lepas dari keberadaan kekuatan pemodal politik dari kandidat calon selalu dipenuhi kepentingan transaksional, bahkan dalam penyusunan anggaran atau kebijakan. Patronase politik dengan ciri klientalisme dan patrimonialisme yang dijalankan pemodal politik tersebut menjadi tanda-tanda kebangkitan otoritarianisme yang syah melalui pemilihan umum dan prosesi demokrasi. Politik Transaksional seolah dilegitimasi oleh semua kalangan, dari mulai mayarakat awam, tokoh masyarakat, sampai tokoh agama, buktinya banyak kalangan agamawan ikut memanfaatkan kesempatan tersebut dengan jalan pengajuan proposal pembangunan tempat ibadah. Walaupun politik transaksional (money politic) dilarang oleh undang-undang, tapi faktanya hampir semua orang melakukan walaupun caranya berbeda-beda, ada yang berdalih shodaqoh, ada yang berdalih “Ahsin ala mukhin” bahkan ada yang beranggapan memberi upah kerja, atau uang trasport. Cara- cara seperti itu dihukumi halal asal bersifat kebaikan. Politik transaksional amat dipahami bernuansa ”political trading” artinya politik sebagai wujud dagang; jual beli kesempatan dan kepercayaan antara rakyat dengan politisi. Politik transaksional ini berlangsung karena saling memahami dan “saling membutuhkan” akibat runtuhnya keyakinan bahwa politik adalah entitas yang sejatinya syarat virtualisme, bahwa politik adalah sarana untuk mensejahterakan masyarakat lewat produk aktivitas poltik. Proses demokrasi yang memenuhi aspek tesis Hans Joergen tentang adanya kompetisi, partisipasi dan kebebasan sipil untuk memilih ketika dalam framing “materialism dan hidonism politik”, maka meruntuhkan aspek nurani dan kejujuran pribadi dan menggeser substansi politik atas dasar kebajikan. Logika pasar biasanya penjual dan pembeli terdapat jarak di dalamnya. Politik transaksional akan menjadi keharusan apabila mentransaksikan aspirasi, kepentingan dan ekspektasi publik tentang kesejahteraan antara konstituen dengan aktor politik untuk diaksentuasikan ke dalam produk politik yang populis yakni memihak masyarakat dan bukan transaksi yang dipenuhi propaganda politik. Political force, in which democratic processes such as local election to elect the regent, mayor, governor, or legislative member during current transition, cannot be separated from the existence of financial force of the candidates as well as transactional interests, even in the budget or policy making. Political patronage characterized by clientalism and patrimonialism done by them is a clear sign of the revival of legalized authoriter through general election and democracy processes. It now seems that transactional politics is legitimated by all, common society or public figures, even religious leaders. It is proven by the presence of worship places construction proposal put forward by religious figures. Although constitutionally forbidden, transactional politics (money politic) is in fact committed by almost everyone, in many different ways. Some call it charity, some say “Ahsin ala mukhin,” some even argue that what they offer is wages, or transportation fee. Those are ways considered halal so long as they are used for common good. Transactional politics is largely understood as “political trading” in which politics is the object of trading; trade of opportunity and trust between people and politician. This transactional politics come into existence as a result of mutual understanding and dependence since the belief that politics is essentially an entity full of virtues, that politics is a mean to bring prosperity to society, has collapsed. Democracy process fulfilling Hans Joergen’s thesis aspect such as public freedom and participation in voting, when in the frame of “materialism and politic hedonism,” will destroy conscience and personal honesty aspect, and put aside political substance based on merits. Transactional politics becomes a must in transacting public aspiration, interest and expectation on public prosperity. It is done by constituents and political actors and accentuated in popular political products, the ones on public’s side instead of on political propaganda.