AGAMA DAN DEMOKRASI DALAM ISLAM (Pandangan Abul A’la Maududi)
Abstract
Sebagian orang menyakini bahwa demokrasi (nilai-nilainya) mendapat pemenuhannya dalam agama (apa saja). juga sebaliknya bagi sebagian lagi, agama dan demokrasi adalah dua hal yang tidak akan klop. Kita harus memilih salah satunya sebagai sistem bernegara. Bagi mereka yang berkeyakinan opitimis dan menempatkan sistem demokrasi sebagai tujuan akhir bernegara, tak ada jalan selain terus mengupayakan dialog antara nilai-nilai inklusif dan ekslusif dari agama dengan proses demokratisasi ini. Demokrasi yang menjadi keniscayaan tidak bisa ditolak, kita harus tetap maju. Pun, bagi mereka yang ogah menerapan nilai dan sistem demokrasi, serta lebih condong ke konsensus (nilai) keagamaan sebagai dasar kehidupan publik (bernegara) akan cepat-cepat menolak upaya privatisasi agama yang dilakukan itu. Bagi mereka, tindakan privatisasi adalah salah, melanggar semangat keagamaan yang dianut: agama adalah nilai universal bagi praktis kehidupan, termasuk dalam berpolitik (bernegara). Bukan saja itu, kalangan yang berada pada posisi ini juga akan mencela upaya kalangan yang coba-coba mendialogkan antara demokrasi dan agama. Bagi sebagian penganut agama non-Kristen, misalnya, dengan tegas menolak demokrasi, sebab bagi mereka bentuk demokrasi hari ini adalah hasil interaksi dari nilai-nilai Kristen dan sekulerisme, sehingga beralasan untuk ditolak. Menerima demokrasi, tidak lain dengan mengakui klaim kebenaran ajaran kristen.