KESIAPAN PENEGAK HUKUM DI KABUPATEN PAMEKASAN DALAM PEMBERLAKUAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Abstract
Lahirnya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2012 No 153 Tambahan Lembaran Negara RI No. 5332, selanjutnya disingkat UU-SPPA) merupakan “harapan” bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun sebagai korban untuk tetap mendapatkan hak-haknya. Hal penting yang diatur dalam UU-SPPA adalah pelaksanaan diversi yaitu pengalihan penyelesaian pidana anak dari proses peradilan pidana di luar peradilan pidana. Langkah diversi tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keadilan restorasi (restoratif justice) yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan untuk pembalasan. UU-SPPA merupakan penyempurna atas pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berlaku selama ini. Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam pemberlakuan UU-SPPA ada dua aspek, yaitu fisik dan non fisik. Persiapan secara fisik yang berupa sarana dan prasarana, yang selama ini masih belum ada karena semua persiapan itu membutuhkan ketersediaan dana yang tidak sedikit. Pemerintah daerah harus mempersiapkan lembagalembaga seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Sedangkan persiapan non fisik meliputi penegak hukum yang mempunyai sertifikat sebagai penyidik anak, jaksa anak dan hakim anak. Faktor pendukung berlakunya UU-SPPA adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU ini telah mengakomodir kepentingan dan perlindungan anak yang selama ini telah mewarnai penyelesaian kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Sedangkan faktor penghambat atas pemberlakuan UU-SPPA yang paling dominan justeru ada pada UU-SPPA itu sendiri karena masih banyak aturan yang memerlukan petunjuk teknis untuk melaksanakannya, seperti aturan tentang prosedur diversi. Jika diversi merupakan amanat dalam UU-SPPA, maka selama lembaga-lembaga baru belum tersedia, maka pelaksanaan diversi akan mengalami hambatan, dimana anak harus ditampung? Demikian juga selama belum tersedia penegak hukum khusus anak, maka amanat UU-SPPA juga tidak akan terlaksana.