Dakwah Islamiyah dengan Pendekatan Sufistik

Abstract

Dakwah Islamiyah yang semestinya diharapkan mampu memberikan solusi berbagai masalah hidup saat ini,   ternyata lebih dipahami hanya sekedar memenuhi perintah  secara normatif, sehingga  dirasa kurang menyentuh ajaran Islam secara substantif. Dakwah Islamiyah mengalami   reduksi sebagai pola pendekatan ritual, simbol-simbol, dan memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat, serta belum menyentuh pada ranah penghayatan agama. Akibatnya, nilai-nilai wahyu   terpisah dari pribadi umat Islam yang lebih mengandalkan kekuatan rasional semata. Keadaan ini menimbulkan kecenderungan keberagamaan yang tidak memiliki dimensi Ilahiyah. Oleh sebab itu, alternative dakwah sufistik  menjadi penting bagi dakwah Islamiyah untuk dilihat kembali sebagai bagian integral dari  ajaran Islam, karena dalam dakwah sufistik, ranah  IQ (żaka‘aqli), EQ (żaka żihni), dan SQ (żaka qolbi) merupakan komponen-komponen yang dikembangkan secara harmonis. Pengertian sufistik  adalah hal-hal yang berkenaan dengan ilmu tasawuf. Istilah sufistik mengacu kepada sifat, seperti pemikiran sufistik yang berarti pemikiran yang bernuansa tasawuf yang tujuan puncaknya adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menggunakan pendekatan hati, bukan logika. Hal ini karena tasawuf berpandangan bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh akal dan penalaran adalah sangat terbatas, sedangkan kebenaran yang diperoleh melalui ma’rifah adalah segala-galanya, karena diperoleh melalui penglihatan mata hati yang mendapat sinar Ilahi. Dakwah sufistik adalah model dakwah yang bisa membuat mad’u memiliki sifat-sifat mulia, bukan sekedar kognisi, tetapi lebih pada ranah afeksi atau aspek kesadaran. Tujuan  dakwah sufistik tidak hanya sebatas kearifan individual atau melakukan ritual-ritual mistik dan cenderung lebih mengedepankan hubungan terhadap Tuhan dan Rasulnya, tetapi juga, yang terpenting, mengedepankan kesalehan secara universal atau sosial