BANK GELAP DI KOTA BUKITTINGGI (RESISTENSI EKONOMI MASYARAKAT PERKOTAAN DALAM MENGHADAPI PEMODAL ETNIK LAIN)

Abstract

The difficulties in getting the allowance from the public bank have some customers try to find the alternative way in having loan which is usually called as “Bank Gelap” or “ Bank 47”. “Bank 47” which is originally come from Batak has a simple process and does not need any prerequirements. The illegal financial activity is administered in almost all area in West Sumatera and Riau. When the local economy began in the grip of other ethnics, especially those in the heart of Bukittinggi, that the ownership shifted slowly disturbed the local community. The logical consequence of the local economy mastery will bring ripples that could cause conflict, the struggle for economic resources, and larger and wider tensions. They provide range of credits from hundreds of thousand rupiah till five thousands rupiah with 20 % of bank interest. The success implications of the capital trading from Batak is transformed as lands, business place, housing and etc. Kesulitan dalam mendapatkan tunjangan dari bank umum menyebabkan beberapa pelanggan mencoba untuk menemukan cara alternatif dalam pinjaman kredit yang biasanya disebut sebagai “Bank Gelap”. “Bank 47” memiliki proses yang sederhana dan tidak memerlukan prerequirements. Pemilik “Bank 47” awalnya berasal dari suku Batak. Aktivitas keuangan ilegal diberikan di hampir semua daerah di Sumatera Barat dan Riau. Ketika ekonomi lokal mulai dirasa berada dalam cengkraman etnik imigran lain khususnya yang berada di jantung-jantung kota Bukittinggi yang secara perlahan beralihnya kepemilikan tempat perdagangan sudah merisaukan komunitas lokal. Konsekwensi logis dari penguasaan ekonomi lokal akan memunculkan riak-riak yang dapat menyulut konflik, perebutan sumber ekonomi dan ketegangan yang lebih besar dan luas. Tradisi ekonomi mereka menyediakan berbagai kredit dari ratusan ribu rupiah hingga lima ribu rupiah dengan 20% dari bunga bank. Implikasi dari keberhasilan dalam perdagangan modal dari suku Batak ditransformasikan sebagai tanah, tempat usaha, perumahan dan sebagainya.