Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya

Abstract

Positivisme� adalah� aliran� yang� sejak� awal� abad� 19 amat mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang� kehidupan� manusia,� terutama� dalam� kajian� bidang hukum.� Dalam� perkembangannya� ilmu� hukum� mengklaim dirinya sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan prilaku warga� masyarakat� (yang� semestinya� tertib� mengikuti� normanorma� kausalitas).� Maka� kaum� positivisme� ini� mencoba menuliskan� kausalitas-kausalitas� dalam� bentuk perundangundangan. Legal-positivism memandang� perlu� untuk� memisahkan� secara tegas antara hukum dan moral. Hukum. bercirikan rasionalistik, eknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivisme tidak ada� hukum� kecuali� perintah� penguasa,� bahkan� aliran� positivis legalisme� menganggap� bahwa� hukum� identik dengan� undangundang.� Hukum� dipahami� dalam� perpektif� yang� rasional� dan logik. Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural. Dalam� positivisme,� dimensi� spiritual� dengan� segala perspektifnya� seperti� agama,� etika� dan� moralistas� diletakkan sebagai� bagian� yang� terpisah� dari� satu� kesatuan� pembangunan peradaban� modern.� Hukum� modern� dalam� perkembangannya telah kehilangan unsur yang esensial, yakni nilai-nilai spiritual. Paham hukum seperti tersebut masih� membelenggu pola pikir kebanyakan� pakar� dan� praktisi� hukum� di� Indonesia.� Sebagai contoh terlihat dengan jelas pada: (1) Vonis bebas samasekali terhadap� Adlin� Lis� (pembalak� hutan)� oleh� Pengadilan� Negeri Medan� dan� (2)� Vonis� Majelis� Hakim� pada� tingkat� kasasi terhadap� Pollycarpus� yang� menyatakan� Pollycarpus� tidak terbukti� melakukan� pembunuhan� terhadap� Munir� sehingga hanya dipersalahkan memalsukan surat. Paham� hukum� seperti� tersebut� di� atas� sangat� berbeda� dengan paradigma hukum sosiologis yang berangkat dari asumsi bahwa hukum� adalah� sebuah� gejala� sosial� yang� terletak� dalam� ruang sosial dan dengan itu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Hukum� bukanlah� entitas� yang� sama� sekali� terpisah� dan� bukan merupakan� bagian� dari� elemen� sosial� yang� lain.� Hukum� tidak akan� mungkin� bekerja� dengan� mengandalkan� kemampuannya sendiri� sekalipun� ia� dilengkapi� dengan� perangkat� asas,� norma dan institusi. Berdasarkan� paradigma� hukum� seperti� itulah� Majelis� Hakim Mahkamah� Agung� dalam� kasus� Peninjauan� Kembali� (PK) terhadap� kasus� terbunuhnya� Munir,� berkeyakinan� bahwa Pollycarpuslah yang membunuh aktivis HAM Munir.