MIQAT JAMAAH HAJI INDONESIA (STUDI KOMPARATIF FATWA MUI DAN ABDULLAH BIN ABDURRAHMAN BIN BAZ)

Abstract

Miqat Jamaah Haji Indonesia (Studi Komparatif Fatwa MUI dan Abdullah bin Abdurrahman bin Baz). Penelitian ini membahas tentang keabsahan bermiqat di kota Jeddah dan perbandingan dua fatwa (MUI dan Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Baz) yang paling rajih, serta dimana jamaah haji Indonesia gelombang kedua harus bermiqat. Jenis penelitian ini adalah komparatif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui metode penelitian kepustakaan. Sumber data primer adalah fatwa-fatwa MUI dan Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Baz dengan mengkaji apa yang menjadi dasar dari masing-masing fatwa mereka. Data dan fakta-fakta dari penelitian ini disajikan secara deskriptif, analisis kritis, dan komparatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bagi penduduk al-Afaq (penduduk yang berada di luar miqat) tidak sah bermiqat di kota Jeddah atau di bandara KKA Jeddah. Karena penunjukan hadis miqat sangat jelas membedakan posisi wilayah setiap penduduk. Jadi tidak boleh menggeneralisir semua sama di mana pun berada, tetapi harus memahami posisi di wilayah mana berada dan harus bermiqat sesuai miqat wilayahnya. Dari dua fatwa tersebut, menurut penulis, fatwa yang paling rajih adalah fatwa Syekh bin Baz yang mengatakan tidak sah bermiqat di kota Jeddah. Karena ia berdalilkan kepada hadis sahih, dan pemahaman hadis tersebut sesuai dengan realita yang ada. Pesawat udara yang membawa jamaah haji dari kawasan Asia dan Pasifik, ketika masuk Jeddah harus datang dari arah timur laut, maka bila telah sampai di Jeddah, garis miqat telah dilewati. Jika jamaah haji tidak kembali ke miqat yang ditentukan, ia harus membayar dam. Adapun jamaah haji Indonesia khususnya gelombang kedua, maka miqat makani mereka adalah di atas pesawat saat melintasi kota Nasir, sejajar dengan miqat makani Qarnul Manazil, miqat yang ditetapkan berdasarkan hadis Nabi saw.