IJTIHAD ‘UMAR IBN AL-KHAṬṬĀB DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF

Abstract

This article aims to describe ijtihad ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb that have unique characteristics. The ijtihād of ‘Umar was based on the Qur'an and hadith, and the example of salaf al-ṣāliḥīn. The understanding of the naṣ is done by ‘Umar contextually, so as to produce ideas that suit with the needs of ummat and fair. With the comparative method, this paper further compares the ijtihād of ‘Umar with the concept of Progressive Law initiated by Satjipto Rahardjo because of their similar characteristics. The paradigm of Progressive Law is that the law solely to humans, so the law must be present for human’s maṣlaḥat. It’s also reject the status quo in the law. Between the ijtihad of ‘Umar and the Progressive laws in general have similar characteristics, both in terms of interest and the position of man as the subject of law. They are also similar in terms of potential legal reform in accordance with the times, change of venue, and the socio-historical conditions. The fundamental difference of both lies in the meanings of maṣlaḥat and the maṣlaḥat standardization.Artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan ijtihad ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb yang memiliki karakteristik yang unik. Ijtihad ‘Umar didasarkan pada al-Qur’an dan hadis, dan apa yangdicontohkan orang saleh sebelumnya. Pemahaman terhadap naṣ oleh ‘Umar dilakukan secara kontekstual, sehingga menghasilkan produk pemikiran yang sesuai dengan kebutuhan ummat dan adil. Dengan metode komparatif, tulisan ini selanjutnya membandingkan ijtihad ‘Umar dengan konsep hukum Progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo karena dinilai memiliki kesamaan karakreristik. Hukum Progresif memiliki paradigma bahwa hukum semata-mata untuk manusia, sehingga hukum harus hadir demi kebaikan manusia dan menolak adanya status quo dalam hukum. Analisis terhadap keduanya menghasilkan pemahaman bahwa antara ijtihad ‘Umar dan hukum Progresif secara umum memiliki kesamaan karakteristik, baik dari segi tujuan maupun posisi manusia sebagai yang dikenai hukum. Mereka juga sama dalam hal potensi pembaharuan hukum sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan tempat, dan kondisi sosio-historis. Perbedaan mendasar pada keduanya yaitu makna maslahat danstandarisasi maslahat yang menjadi landasan.