Local Wisdom Modal Toleransi: Studi Kasus di Kudus

Abstract

Membincangkan interaksi sosial yang positif antar-umat beragama dan umat seagama dari aspek faktor penyebab menarik didalami. Pendalaman dengan melakukan riset faktawi, tak berdasarkan statement pejabat yang hanya ‘berangan-angan’ agar dipandang mampu melaksanakan tugas melayani, mengayomi, dan memfasilitasi terutama pada umat minoritas. Riset ini bagian dari upaya mencari fakta yang benar, apakah local wisdom yang diwariskan oleh Sunan Kudus (pelarangan menyembelih sapi) hingga kini tertanam di benak warga Kudus Jateng dapat menyebabkan terwujudnya toleransi di Kudus? Realitasnya perlu digali karena tak terbukti bahwa local wisdom tak selalu dijadikan tempat berpijak dalam mewujudkan toleransi oleh mayoritas terhadap minoritas, baik seagama maupun antar-umat beragama. Riset tahun 2015 ini diperoleh dengan wawancara, dokumentasi, observasi, forum group discussion (FGD) dengan umat minoritas dan mayoritas dengan analisis deskriptif kualitatif. Local wisdom (LW) dimaknai sebagai warisan non-bendawi (oral tradition) yang dituturkan antar-generasi bermuatan pelajaran hidup yang bijak dari leluhur. Peran LW sebagai penyuluh dan tempat bertanya warga agar berperilaku toleran, sopan-santun, dan bijaksana dalam konteks kini sebatas pelipur lara atau lahan mendongeng. Fakta yang tergali penulis, konflik terbuka dan terselubung ibarat api dalam sekam di Kudus. Sebagaimana penutupan tempat ibadah yang juga rumah hunian/lahan bisnis dengan dalih tak menaati aturan dalam SKB Menag dan Mendagri (padahal, makin dilarang, makin militan dalam beragama), pelarangan tempat ibadah dan diizini bila sebagai balai pertemuan, pemisahan makam yang semula searea (akan) dipisahkan -di tengah tolerannya mayoritas awam dengan minoritas Buddhis-, penggeseran hak bersama yang semula makam umum menjadi makam Islam yang tanpa kesepakatan. Di sisi lain (1) penggunaan pengeras suara di tempat ibadah yang melebihi jam tayang dan melanggar peraturan mentradisi seakan tanpa kendali, padahal bukan wujud syiar, tapi ampreh pamrih sesami, (2) penghentian khalwatan karena sentimen dan rebutan santri, hanya karena si kiai ‘baru’ tidak pernah nyantri (Majelis Dzikrussalikin), (3) pembubaran louncing Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) yang tak ada follow up, dan (4) keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI Lahore) di Colo, Dawe ibarat api dalam sekam. Fakta itu semua sebagai penanda bahwa local wisdom tak selalu menjadi urat nadi kehidupan bermasyarakat seagama, apalagi lintas agama.            Solusi bijaknya adalah belajar dengan kunjungan Imam Besar Al-Azhar, Mesir, Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb di Vatikan bertemu dengan Paus Franciscus Senin 23/5/2016 setelah lima tahun keduanya berhubungan dingin. Hal ini akibat lontaran Paus Benekdiktus XVI yang meminta perlindungan lebih bagi umat Nasrani yang berada di Mesir. Hal ini dipicu kerusuhan malam Tahun Baru 2010 di gereja Kristen Coptic di Kota Alexandria, Mesir, umat Nasrani tewas 21 orang. Dengan bertemunya tokoh utama dan diikuti warga awam di arus bawah diawali dengan dialog antaragama, srawung secara alami, saling percaya, saling menghormati dengan kerendahan hati dan difasilitasi pemerintah maka toleransi sejati berpijak dari karya nyata mampu mengurangi tensi ketegangan pemicu konflik.