Kontroversi Kesaksian Perempuan : Mengurai Tafsir Kesaksian Perempuan dalam Al-Qur'an
Abstract
Terdapat kontroversi tentang kesaksian perempuan dalam hal nilai kesaksian, cakupan kesaksian, dan hukum mempersaksikannya. Sementara, disimpulkan bahwa jika teks diinterpretasikan secara tekstual, maka nilai kesaksian perempuan adalah separuh kesaksian laki-laki, dan hal ini hanya mencakup hal-hal yang berkaitan dengan harta benda. Adapun hukum mempersaksikannya hanya sebagai anjuran. Akan tetapi, jika teks diinterpretasikan secara kontekstual, maka nilai kesaksian perempuan sama dengan kesaksian laki-laki. Dalam tulisan ini saya berargumen bahwa kesaksian perempuan menurut al-Qur’an sama dengan kesaksian laki-laki, baik ditafsirkan secara tekstual maupun secara kontekstual,baik dalam hal yang berkaitan dengan harta benda maupun yang berhubungan dengan masalah ĥudūd. Adapun mengenai hukum mempersaksikannya, secara umum dalam al-Qur’an digunakan kata berbentuk ‘amr sehingga dapat dipahami sebagai perintah.There are some controversies concerning woman witnesses in terms of their testimony, the scope of the subjects, and the legal status of testimony. It is tentatively concluded that if texts are normatively interpreted textually, then, the testimony of a woman is valued only one half of that of a man, and this is only for the matters concerning with goods, while the law on the subjects of these matters is only recommendation. However, if normative texts are interpreted contextually, then, the testimony of a woman has an equal value with that of a man. In this study, I argue that the testimony of a woman according to the texts of Holly Qur’an equals to the testimony of a man, no matter the texts are interpreted textually or contextually in both subjects concerning with goods and with hudūd. Regarding the legal status of testimony, in the Qur’anic texts generally the word amr is used, so this can be considered as compulsary.