PEMBARUAN KRITERIA VISIBILITAS HILAL DAN PELUANGNYA TERHADAP PENYATUAN KALENDER HIJRIYAH DI INDONESIA (Studi Pemikiran LP2IF-RHI)

Abstract

Perbedaan metode penentuan awal bulan Hijriyah di Indonesia, khususnya Ramadhan dan Syawal sampai sekarang masih terjadi. Hal ini disebabkan karena penganut metode hisab yang direpresentasikan oleh Muhammadiyah dan Persis dengan penganut rukyat yang direpresentasikan oleh NU belum bersatu. Untuk menyatukan metode penentuan awal bulan tersebut, Kementerian Agama menggunakan kriteria visibilitas hilal: tinggi bulan minimal 2o, beda azimuth bulan-matahari minimal 3o, dan umur bulan saat matahari terbenam minimal 8 jam pasca ijtimak. Dari beberapa penelitian, hasil rukyat hilal dengan kriteria Kementerian Agama masih lemah validitasnya dari aspek astronomis. Perbaikan kriteria visibilitas hilal dilakukan oleh Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak-Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF-RHI) dengan kriteria tinggi minimum 3,60o untuk beda azimuth bulan–matahari 7,53o, hingga maksimum 9,38o untuk beda azimuth bulan–matahari 0o. Kriteria visibilitas hilal ini mempunyai peluang besar untuk menyatukan kalender Hijriyah karena ormas besar seperti NU dan Persis sudah menggunakan kriteria visibilitas hilal. Jika Muhammadiyah mau merubah kriteria hisabnya dari hisab wujudul hilal ke hisab dengan kriteria visibilitas hilal, penyatuan kalender Hijriyah dapat terwujud.