OTORITARIANISME ULAMA (Analisis atas MUI dengan Pemikiran Khaled Abou El Fadhl)

Abstract

Since its emergence in 70st MUI has been signaled by some parties as a an institution which is intendedly bias and political-based interest although its founded for solving socio-religious problems.  It  can  be  seen  from  its  fluctuative  movement.  There  is  a  radicalization  symptom within the body of this institution after the affiliation of DDII exponents into its organizational structure in 90st. the phenomenon has been strengthen by the affliation of some radical oraganization into Moslem Forum. Besides, its fatwas tend to ignore the plurality of school of thoughts. In this context, using Khaled Abou ElFadhl’ theory, MUI is authoritarian because it does not give chance to other arguments particularly in pluralism legal status and Ahmadiayah sect cases. Sejak kelahirannya di tahun 70-an, MUI disinyalir oleh beberapa pihak sebagai institusi yang cenderung bias dan sarat dengan kepentingan politik meski tujuan awal pendiriannya adalah memberikan solusi atas persoalan sosial-keagamaan. Hal ini terbukti dalam dinamika perjalanan intitusi ulama tersebut yang demikian fluktuatif. Di antaranya dapat dilihat gejala adanya radikalisasi di tubuh MUI ini setelah banyaknya eksponen DDII yang masuk dalam struktur  kepengurusan  pada  tahun  90-an.  Hal  tersebut  semakin  kuat  pada  tahun  1998-an  sejak bergabungnya sejumlah organisasi Islam radikal dalam wadah Forum Umat Islam (FUI). Di samping itu, juga dapat dilihat pada fatwa-fatwanya yang cenderung kurang mempertimbangkan pluralitas madzhab dan pemikiran. Dalam konteks inilah, tampaknya jika dilihat dengan teori yang digagas Khaled Abou ElFadhl, bahwa MUI dinilai otoriter karena tidak memberi peluang kepada pendapat lain, seperti dalam kasus pengharaman pluralisme dan sesatnya aliran Ahmadiyah.