Sejarah dan Bahasa Figuratif dalam Tradisi Katoba pada Masyarakat Muna

Abstract

Masyarakat Muna memiliki salah satu tradisi, yakni katoba. Secara historis, keberadaan tradisi katoba di Muna terkait dengan awal masuknya Islam di Muna pada 1629-1665 M, yakni masa pemeritahan La Ode Abdul Rahman (bergelar Sangia La Tugho). Sejak masa pemerintahan Sangi La Tugho, hingga saat ini perkembangan tradisi katoba masih cukup kuat karena telah melembaga dalam sistem kebudayaan Muna. Tradisi ini dilaksanakan pada anak yang berusia (7-11 tahun) yang dipandu oleh seorang imamu (imam) desa. Dalam proses pelaksanaan tradisi katoba terjadi interaksi verbal antara imamu dan anak. Interaksi verbal tersebut, selain tercermin melalui bahasa sehari-hari anak, hadir pula kemasan bahasa figuratif (figurative language). Pemakaian bahasa figuratif tersebut, selain untuk memudahkan pemahaman anak terhadap nasihat/pesan katoba yang disampaikan, juga untuk memberikan makna khusus atau efek tertentu.Kata kunci: sejarah, bahasa figuratif, tradisi katoba, masyarakat MunaThe people of Muna has a tradition called Katoba. Historically, the existence of this tradition was related with the earlier penetration of Islam in Muna at 1629-1665 AD, during the ruling period of La Ode Abdul Rahman (titled Sangia La Tugho). Since the ruling period of Sangia La Tungo until today, the Katoba tradition has been growing stronger as it has institutionalised in the Muna Cultural System. The tradition is performed on to children aged 7 to 11 and guided by a village imam (imamu). During the procession, verbal interaction happens between the imamu and the child. The verbal interaction, while reflecting the child‘s everyday language, also shows occurances of figurative language expressions. The reason in using figurative language is to help children to better understand the messages and advices of Katoba and to give special meaning or certain effects.Keywords: history, figurative language, Katoba tradition, the Muna people