Pelayanan Publik dan Pemenuhan Hak Difabe: Studi tentang Layanan Pendidikan Inklusif Melalui Kasus Pemindahan Difabel dari Sekolah Reguler ke Sekolah Luar Biasa di Yogyakarta

Abstract

Indonesia’s constitution and legislation state that all Indonesiancitizens, including those with a disability, havea right to quality education. To meet this right, the government must ensure that every aspect of schooling and learning are accessible tostudentswith disabilities; however, this is not currentlythe case. Indeed, while inclusive education policy has been in place for years, its implementation is yet to be seen. For example, some children with disabilities are denied admission, while others continue to experience barriers to learning as schools are unable to meet their needs. The perception that disabled students belong only in special, segregated schools is still strongly held by the community, educational practitioners, and policy makers. As such, students with disabilities who register in inclusive schools are expected to meet certain qualifications. Should they fail to meet these requirements students are“returned” to special schools. Thispaper argues that such phenomenon demonstrates the government’s failure to meet its own mandateto ensure and protect the educational rights of persons with disabilities.[Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap warga negara Indonesia yang berada dalam usia wajib belajar, termasuk juga difabel (people with different ability). Negara idealnya mampu menyediakan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan difabel. Tidak hanya kebutuhan difabel yang harus diperhatikan tetapi juga bagaimana layanan pendidikan tersebut mampu menjamin hak-hak dari difabel dan yang terpenting adalah difabel mampu mengakses layanan pendidikan yang tersedia. Namun tidak jarang difabel mengalami kesulitan mengakses layanan pendidikan yang disediakan oleh negara dikarenakan kebutuhan mereka yang berbeda dengan non difabel. Akibatnya difabel banyak mengalami penolakan ketika ingin bersekolah di sekolah yang mereka inginkan, termasuk di sekolah reguler.Pemahaman yang berkembang adalah sekolah yang pantas bagi difabel hanyalah di sekolah luar biasa. Hal ini yang membuat difabel tak jarang di diskriminasi dalam dunia pendidikan. Kebijakan pendidikan inklusif yang awalnya didesain agar anak difabel dan non difabel mampu belajar bersama pun baik regulasi dan implementasinya masih jauh dari sempurna. Kebijakan pendidikan inklusif seharusnya dapat digunakan sebagai dasar kesetaraan pendidikan kenyataannya masih menerapkan syarat – syarat khusus agar difabel mampu diterima di sekolah reguler tersebut. Saat difabel tidak mampu lolos kualifikasi yang ditentukan maka dia tidak dapat diterima di sekolah inklusif tersebut dan dikembalikan ke sekolah luar biasa. Jika hal ini terjadi maka negara gagal menjamin pemenuhan hak pendidikan bagi difabel itu sendiri.]