MASALAH GENDER DALAM PERSFEKTIF TASAWUF

Abstract

Banyak orang memahami, bahwa kesetaraaan gender tidak ditemukan dalam Islam dengan menampilkan Nash dan gambaran tradisi Jahiliyah, hingga masa Rasulullah SAW, padahal dijaman tersebut tidak seluruhnya demikian. Masih ada beberapa suku pada jaman itu yang menempatkan posisi perempuan sema dengan laki-laki. Memang tidak dapat dibantah, bahwa kajian Fiqh klasik sangat banyak aturan yang mendiskriditkan gender tentang hak dan peranan perempuan. Tetapi hal itu, menjadi lahan garapan Fiqh modern untuk membongkarnya, dengan mengacu kepada rasa keadilan bagi laki dengan perempuan. ILmu pengetahuan dan teknologi, tidak melihat adanya alasan yang dapat dibenarkan untuk melakukan diskriminasi terhadap gender. Bahkan ilmu tasawuf tidak menilai kepribadian seseorang karena kelainan gender, tetapi siapapun diantara manusia yang sanggup melakukan pembersihan diri (Takhalli), pengisian hati (Tahalli), itulahyang diberi anugrah oleh Allah untuk sampai kepada-Nya (Tajalli). Dan termasuk sangat dihargai dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Tasawuf, karena kesucian diri dan perilakunya, kesabaran dan keikhlasannyaa, yang pada puncaknya ia disebut Waliullah. Gelar ini menjadi milik seluruh gender yang berhasil menembus kesulitan (tembok tabir) dan melewati berbagai macam rintangan, yang akhirnya upaya maksimal itu dapat mencapai tujuan, yaitu tingkatan Sufi yang lebih tinggi, yakni Habib Allah, sebagaimana tingkatan kesufian yang telah diterima oleh Sufi besar perempuan, yang bernama Rabi'ah al-'Adawiyah.