Brahma Vihara Dan Rasa Ketakutan Pada Era Modern
Abstract
Peperangan yang terjadi di dunia ini adalah bentuk kebencian, kekejaman, lcekerasan untuk memaksa orang lain tunduk. Hal ini mengesampingkan nilai-nilai cinta kasih dan kasih sayang. Sang Buddha dengan tegas menolak peperangan tersebut, walaupun pada suatu ketika Buddha sendiri pergi ke medan perang dan menjadi orang penengah untuk menghindari terjadinya peperangan antara suku Sakya dan suku Koliya. Kedua suku tersebut saling berhadapan dan sudah bersiap-siap untuk melakukan peperangan terkait dengan perebutan perihal air sungai Rohini. Pada akhimya setelah diberikan pemahaman yang benar kemudian tidak terjadi peperangan. Sang Buddha selalu mengembangkan nilai-nilai cinta kasih kepada siswanya. Brahma vihara atau kediaman luhur, yang terdiri alas Melia (Cinta kasih), Karuna (Belas kasihan), Mudita (Simpati) dan Upekkha (Keseimbangan batin) adalah sebagai nilai estetika internal manusia. Nilai-nilai universal estetis inilah yang seharusnya dikembangkan kepada seluruh umat manusia di dunia tanpa melihat perbedaan suku, agama, negara dan lain sebagainya. Oleh karena itu bahwa persoalan tawuran, peperan& saling menghancurkan satu sama lain tidak akan pemah terselesaikan jika satu dengan yang lain selling membalasnya. Adanya peperangan menyebabkan rasa ketakutan, memiliki perasaan curiga mencurigai saw sama lain, dan menimbulkan ketegangan. Sang Buddha bersabda: '"Tidak pemah kebencian dapat dihilangkan dengan membalas membenci; tetapi kebencian akan hilang dengan cinta kasih. ini merupakan Kebenaran Abadi" (Dhammapada 5 atau Majjhimanikaya 128).