Urgensi Adanya Saksi saat Cerai dan Relevansinya Terhadap Konsep Maslahah Asy-Syathibi
Abstract
Penulisan Artikel ini dilatar belakangi dari aturan yang berbeda, yakni syariat Islam dan undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sekarang menjadi undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, pasal 76 ayat 1. Fokus penelitian pada artikel ini yakni tentang adanya saksi saat cerai adapun tujuannya yakni menggali data-data tertulis mengenai dasar dari undang-undang tersebut mengharuskan adanya saksi saat cerai sehingga membuatnya berbeda dengan syariat Islam yang tidak mengharuskan saksi saat cerai, artikel ini pula mengkaji keterkaitan saksi saat cerai dengan teori maslahah dari Asy-Syathibi. Penelitian ini berjenis yuridis normatif atau penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif deskriptif dan filosofis logis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, adanya saksi saat cerai telah mendasar atau merujuk pada Herzein Inlandsz Reglement (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengesten (RBG), keduanya merupakan undang-undang buatan penjajah Belanda yang masih diberlakukan dengan pertimbangan masih sesuai dengan kebutuhan hukum bagi penduduk Indonesia kemudian hasil penelitian mengenai relevansi saksi saat cerai terhadap teori maslahah dari Asy-Syathibi yakni telah menunjukkan bahwa adanya saksi saat cerai merupakan representasi dari maslahah mursalah sebab tidak ada dalil yang tertulis secara spesifik untuk menunjukkan larangan atau pembolehannya, kendati demikian adanya saksi saat cerai merupakan upaya mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat pasca terjadinya cerai.