‘Illat, Hikmah, Qiyas: Studi Pemikiran Imam Ar-Razi dan Imam Al-Amidi tentang Penetapan Hukum dalam Istinbat Qiyasi
Abstract
The majority of scholars state that hikmah cannot be considered as an ‘illat (legal cause) due to its abstract and elusive nature. This article aims to examine the views of Imam ar-Razi and Imam al-Amidi regarding hikmah as an ‘illat in Islamic jurisprudence, identify their similarities and differences, and explore the implications for legal deduction. This research uses a literature review methodology with a comparative analysis of the works of Imam ar-Razi and Imam al-Amidi as the primary data sources. The article utilizes usul al-fiqh, a methodological approach to the study of legal issues based on the framework of ‘illat and the hikmah of the law in Islamic jurisprudence. The findings of this article indicate that Imam ar-Razi rejects the use of hikmah as an ‘illat, arguing that hikmah is uncertain and its nature is not constant for every law. On the other hand, Imam al-Amidi suggests that a law accompanied by a clear nature can contain hidden hikmah. The commonality in the thinking of both scholars lies in their rejection of ta’lilul ahkam bi al-hikmah. They argue that hikmah is difficult to ascertain and possesses an abstract nature. There are three key differences between these two scholars: in terms of methodology, thinking, and implications. [Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hikmah tidak dapat menjadi ‘illat karena sifatnya yang abstrak dan sulit dipahami. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pemikiran Imam ar-Razi dan Imam al-Amidi mengenai hikmah sebagai ‘illat hukum, menemukan persamaan dan perbedaannya, serta implikasinya terhadap istinbat hukum. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan analisis komparatif berdasarkan karya Imam ar-Razi dan Imam al-Amidi sebagai sumber data utama. Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah usul al-fiqh, yang merupakan pendekatan untuk memahami masalah hukum berdasarkan kerangka teori ‘illat dan hikmah hukum dalam usul fiqh. Penemuan dalam artikel ini menunjukkan bahwa Imam ar-Razi menolak penggunaan hikmah sebagai ‘illat dengan alasan bahwa hikmah itu tidak dapat diketahui dengan pasti dan sifatnya tidak tetap untuk setiap hukum. Di sisi lain, Imam al-Amidi berpendapat bahwa hukum yang disertai dengan sifat yang jelas dapat mengandung hikmah yang tersembunyi. Persamaan dalam pemikiran kedua tokoh ini adalah penolakan terhadap ta’lilul ahkam bi al-hikmah. Mereka berpendapat bahwa hikmah sulit untuk ditemukan dan bersifat abstrak. Terdapat tiga perbedaan utama antara kedua tokoh tersebut: dalam metode, pemikiran, dan implikasi hukumnya.]