Fiqih dalam Perspektif Filsafat Ilmu: Hakikat dan Objek Ilmu Fiqih
Abstract
Every Muslim is aware and at the same time believes that all the activities of his life in his capacity as a creature of Allah certainly will not be separated from the signs of shari'ah. There are norms that regulate and bind every activity carried out along with the legal consequences. This rule or norm is commonly referred to as jurisprudence. Fiqh with this meaning is the fiqh that we find in religious practices or Muslim activities every day. But there is one anxiety when jurisprudence is read with academic glasses that require scientific empiricism. This is important to answer in order to provide proof of "jurisprudence as a science" so that jurisprudence is not seen only as ijtihadiyyah products by the sciences developing in the West. This also reinforces that all Islamic education can be used as a reference in living life in the theocentric, anthropocentric and cosmocentric dimensions of every Muslim. Setiap muslim tentunya sadar dan sekaligus percaya bahwa seluruh aktifitas kehidupannya dalam kapasitasnya sebagai makhluk Allah tentunya tidak akan lepas dari rambu-rambu syari’at. Ada norma yang mengatur dan mengikat setiap kegiatan yang dilakukan berikut konsekuensi hukumnya. Aturan atau norma ini biasa disebut dengan fiqih. Fiqih dengan makna tersebut merupakan fiqih yang banyak kita temukan dalam praktik-praktik ibadah atau aktifitas muslim setiap harinya. Namun ada satu kegelisahan ketika fiqih dibaca dengan kaca mata akademik yang mensyaratkan empiris keilmuan. Hal ini penting untuk dijawab dalam rangka memberikan pembuktian “fiqih sebagai ilmu” agar fiqih tidak dipandang hanya sebagai produk-produk ijtihadiyyah oleh ilmu-ilmu yang berkembang di Barat. Hal ini juga semakin meneguhkan bahwa semua ilmu pendidikan Islam dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menjalani kehidupan dalam dimensi teosentris, antroposentris dan kosmosentris setiap umat Islam.