SENSITIVITAS HAKIM TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ISTERI DALAM KASUS CERAI GUGAT (Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor 157/Pdt.G/2020/Ms.Bna)
Abstract
Pasca lahirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor.137/K/AG/2007 memberikan warna baru terhadap hak isteri pasca cerai gugat.Yakni isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dan mut’ah dari bekas suami.Namun fakta empiris membuktikanaturan tersebut belum terwujud dalam putusan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Nomor. 157/Pdt.G/2020/MS.Bna.Oleh karena itu dibutuhkan sensitivitas dan kepekaan seorang hakim terhadap perlindungan hak-hak isteri pasca perceraian.Adanya aturan tersebut merupaan bentuk perlindungan terhadap hak-hak isteri pasca percerain.Tujuan dilakukanya penelitian ini untuk mengetahui sensitivitas hakim terhadap hak isteri dalam kasus cerai gugat serta mengetahui alasan hakim tidak memberikan nafkah tersebut.Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-empiris dengan jenis data primer dan data sekunder.Sumber data dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi dokumentasi kepustakaan.Data tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwahakim di Mahkamah Syar’iyahtelah berupaya memiliki nilai sensitivitas terhadap perlindungan perempuan pasca perceraian.Sensitivitas tersebut dinilai menggunaka dua indikator pertama upaya hakim dalam pemenuhan nafkah mut’ah dan iddah terhadap isteri dalam kasus cerai gugat.kedua perealisasian terhadap hak-hak isteri pasca penetapan putusan Mahkamah Syar’iyah. Faktor yang menyebabkan hakim tidak menetapkan nafkah dalam putusan tersebut diantaranya: Hakim masih menggunakan dasar KHI, isteri tidak mengetahui haknya serta hanya meminta akta cerai.