Pudarnya Peran Otoritas Keagamaan Lokal: Studi Atas Buatulo Syara’a di Provinsi Gorontalo
Abstract
Otoritas keagamaan, baik yang berbentuk individu maupun lembaga, sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku umat beragama. Penelitian ini membahas peran Buatulo Syara’a sebagai lembaga pemegang otoritas keagamaan lokal dalam kehidupan umat Islam di Provinsi Gorontalo. Buatulo Syara’a dipimpin oleh seorang Kadli (Qadi'), dan merupakan salah satu dari tiga lembaga dalam sistem pemerintahan adat Gorontalo yang disebut Buatulo Toulongo. Dua lembaga lainnya; Buatulo Bubato (lembaga pemerintah), dan Buatulo Bate (lembaga adat). Metode penelitian ini kualitatif-deskriptif berbasis penelitian lapangan, data dikumpulkan melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Menggunakan perspektif tiga varian otoritas Weber, penelitian ini menemukan bahwa memudarnya peran Buatulo Syara’a sebagai lembaga otoritas keagamaan lokal di Gorontalo dijumpai pada ranah otoritas tradisional dan otoritas kharismatik. Pada otoritas tradisional, Buatulo Syara’a tergeser oleh peran otoritas keagamaan baru seperti ormas keagamaan dan kemunculan internet sebagai wadah pencarian pengetahuan, dan distribusi nilai-nilai keagamaan yang tidak hanya bertumpu pada otoritas tertentu. Di ranah otoritas kharismatik, cukup banyak masyarakat Gorontalo yang tidak lagi mengenal peran Buatulo Syara’a. Keberadaan Buatulo Syara’a yang mulai memudar dalam nalar sosial-budaya masyarakat Gorontalo secara tidak langsung berakibat pada memudarnya peran Buatulo Syara’a sebagai lembaga otoritas keagamaan. Ranah otoritas legal-rasional menjadi satu-satunya yang membuat keberadaan Buatulo Syara’a masih bertahan. Legitimasi keberadaan Buatulo Syara’a sebatas karena diangkat dan mendapat SK dari pemimpin daerah dalam hal ini walikota dan bupati. Buatulo Syara’a kemudian beraktifitas di masjid-masjid miliki pemerintah, seperti Masjid Agung untuk tingkat Kabupaten/Kota, Masjid Besar untuk tingkat kecamatan, dan Masjid Jami’ untuk tingkat kelurahan dan desa. Religious authority, whether in the form of individuals or institutions, has a huge influence on the behavior of religious communities. This research discusses the role of Buatulo Syara’a as an institution holding local religious authority in the lives of Muslims in Gorontalo Province. Buatulo Syara’a is led by a Kadli (Qadi’), and is one of three institutions in the Gorontalo traditional government system called Buatulo Toulongo. The other two institutions; Buatulo Bubato (government institution), and Buatulo Bate (customary institution). The research method is qualitative-descriptive field research-based, data collected through participatory observation and in-depth interviews. Using Weber's three variants of authority perspective, this study found that the waning role of Buatulo Syara’a as a local religious authority institution in Gorontalo is found in the realm of traditional authority and charismatic authority. In the traditional authority, Buatulo Syara’a has been displaced by the role of new religious authorities such as religious mass organizations and the emergence of the internet as a forum for knowledge search and distribution of religious values that do not only rely on certain authorities. In the realm of charismatic authority, quite a lot of Gorontalo people no longer recognize the role of Buatulo Syara’a. The existence of Buatulo Syara’a which began to fade in the socio-cultural reasoning of Gorontalo people indirectly resulted in the fading role of Buatulo Syara’a as an institution of religious authority. The realm of legal-rational authority is the only thing that makes the existence of Buatulo Syara’a still survive. The legitimacy of the existence of Buatulo Syara’a is limited to being appointed and receiving a decree from the regional leader, in this case the mayor and regent. Buatulo Syara’a is then active in government-owned mosques, such as the Masjid Agung at the regency/city level, the Masjid Besar at the sub-district level, and the Masjid Jami’ at the village level.