Keabsahan Pelaksanaan Harta Bersama Sebagai Implementasi Akad Syirkah
Abstract
<p>Artikel ini berisi tentang <em>keabsahan pelaksanaan </em><em>harta bersama</em><em> sebagai implementasi akad syirkah</em><em>.</em> Bila ditelisik, baik <em>Menurut KUHP</em><em>e</em><em>r, BAB VI Pasal 119,</em><em> </em><em>Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 </em><em>maupun KHI </em><em>Pasal 1 huruf “f</em><em>”. Bahwa </em><em>harta bersama terjadi saat dilangsungkan perkawinan</em><em>, sedangkan</em><em> harta bawaan dari</em><em> </em><em>suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain</em><em>. </em><em>Apakah pelaksanaan harta bersama telah memenuhi kriteria syirkah yang sah?”</em><em>. K</em><em>arena implikasi dari akad yang tidak sah ialah haram melakukan tindakan hukum yang diakibatkan oleh akad tersebut, atau dalam bahasa awam disebut harta haram. Kebutuhan tersebut semakin mendesak jika menimbulkan konflik dan pihak yang terzalimi secara langsung maupun terdampak, untuk menjawab pertanyaan yang menjadi masalah dalam artikel ini dilakukan analisis terhadap unsur-unsur pokok dalam pelaksanaan harta bersama (subjek hukum, objek hukum, perbuatan hukum, dan akibat hukum dengan pisau analisis yang digunakan adalah kaidah al-‘ibratu fil-‘uqūd bil-maqāṣidi wal-ma‘āniy lā bil-alfāẓi wal-mabāniy. </em><em>Temuanya adalah </em><em>bahwa konsep harta bersama belum sepenuhnya memenuhi kriteria konsep syirkah. Terdapat perbedaan fundamental yang membuat kedua konsep ini seharusnya tidak dapat disamakan. Perbedaan tersebut terdapat pada subjek hukum, perbuatan hukum, dan sifat kedua akad.</em><em></em></p>