Analysis Of Istifham Sentences In Surah At-Tin Verse 8: A Study Of Charles Sanders Peirce’s Semiotic
Abstract
Kalimat istifham tidak selamanya diartikan sebagai kalimat pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Namun sebaliknya, kalimat tanya bisa beralihfungsi menjadi kalimat perintah, kalimat berita dan kalimat larangan. Dalam ilmu balagah, kalimat tanya seperti ini masuk dalam klasifikasi kalimat istifham majazi. Hal yang menjadi polemik dalam dunia akademik ketika ilmu balaghah tidak bisa menjelaskan perubuhan fungsi kalimat dengan lebih jelas, hanya sekedar memberikan teori bila ada partikel kalimat tanya seperti kata “hamzah (اَ)” atau “hal (هَلْ)” dalam suatu ayat. Oleh sebab itu, tulisan ini ingin menggali lebih detail lagi penyebab pengalihfungsian kalimat istifham dengan metode semiotika Peirce. Di mana konsep semiotika Peirce merupakan proses penafsiran yang berasal dari proses semiosis obyek dan representament yang nantinya akan menghasilkan interpretant. Dengan konsep semiotika Peirce, tulisan ini fokus untuk menggali interpretant dari kalimat istifham pada QS. At-Tin ayat 8. Dengan menggunakan studi kepustakaan, dan analisis-deskriptif hasil penelitian ini menunjukkan, QS. At-Tin ayat 8 sebagai salah satu contoh kalimat istifham bila dikaji dengan teori semiotika Peirce akan mendapati tiga interpretasi, pertama, kalimat istifham pada ayat tersebut termasuk dalam kalimat tanya kovirmatif yang sifatnya potensial yang masih menunggu konvirmasi dari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Kedua, kaliamat istifham termasuk dalam istifham majazi yang memberikan makna pernyataan dan sifatnya faktual, kefaktualannya sudah diakui dalam ilmu balaghah, dan Ketiga, sebagai penegasan bahwa hakim dan keadilan yang paling adil didapati dari Allah Swt, di mana hal ini bersifat konvensional yang didapati dari proses semiosis obyek dan representament ayat-ayat sebelumnya.