PENYELESAIAN NUSYUZ DALAM KESETARAAN GENDER PERSPEKTIF TEORI MUBADALAH

Abstract

Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana penyelesaian nusyuz dalam kesetaraan gender perspektif teori mubadalah. Isu Kesetaraan Gender saat ini sedang trend, bahkan menjadi topik kekinian yang diangkat oleh para tokoh-tokoh penggiat gender, salah satunya tentang nusyuz. Nusyuz istri sudah biasa kita dengar, karna menurut hukun islam dan kompilasi hukum islam  hanya istri yang melakukan nusyuz, lalu kemudian tatkala bebrbicara tentang gender hal yang tidak biasa kita dengar terkait nusyuz yang dilakukan oleh suami. isu-isu seperti ini tatkala dikaitkan dengan wacana islam, sangat menarik untuk dikaji. Dari pengamatan peneliti di masyarakat setempat, konstruksi sosial dan budaya yang didukung dengan teori nurture yang dimana teori nurture ini adalah adanya perbedaan kaum laki-laki dan perempuan yang diistilahkan dengan dikotomi ruang publik dan domestik.    Adanya istilah dikotomi publik dan domestik yang dikuatkan dengan teori hukum islam dan kompilasi hukum islam mengakibatkan mindset berfikir masyarakat bahwa suani lebih berperan dan berjasa daripada istri, sehingga kata nusyuz itu dilekatkan hanya untuk istri. Dalam penelitian inii, peneliti menggunakan jenis peneliitian kualitatif secara deskriptif dengan pendekatan yang bersifat studi literatur (kepustakaan). Hasil penelitian ini bahwa nusyuz dan penyelesaiannya dalam perspektif teori mubȃdalah Bahwa, dengan kesetaraan gender memungkinkan terjadinya nusyuz suami atau istri, dengan konsep menerima taat (Jalbu Al-Mashaliih) dan menolak nusyuz (Dar’u Al-Mafasiid).