Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclogh Dalam Berita Korupsi: Pungli di Sekolah

Abstract

Berdasarkan AWK model Norman Fairclough, dapat disimpulkan bahwa dalam berita korupsi tentang pungli di sekolah, terdiri atas tiga dimensi, yaitu: 1) dimensi linguistik teks, yang menampilkan beberapa aspek linguistik sebagai konsep dalam menjelaskan sebuah konteks, yaitu: a) penggunaan akronim, b) penggunaan idiom, dan c) penggunaan lawan kata; 2) dimensi penafsiran praktik wacana, yang mengungkapkan bahwa dalam memproduksi teks berita tentang pungli di sekolah, media rata-rata menggunakan strategi wacana nominasi dengan penyebutan aktor sosial, melalui prinsip kejelasan, kebenaran dan kesesuaian; 3) dimensi penjelasan sosio kultural yang terdiri atas: a) Tingkatan Situasional, menjelaskan bahwa pungutan liar yang terjadi di sekolah disebabkan adanya peluang, sikap pembiaran, lemahnya pengawasan, dan kurangnya nilai-nilai moral yang terintegrasi dalam kepribadian pemangku jabatan; 2) Tingkatan Institusional, menjelaskan bahwa pungutan liar yang terjadi di sekolah disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal dalam hal ini adalah budaya korupsi (pungli) yang berkembang dalam institusi yang dalam hal ini adalah sekolah. Faktor eksternal dalam hal ini adalah adanya desakan atau paksaan dari pihak luar seperti orang tua yang berkeinginan anaknya bersekolah di sekolah unggulan atau favorit dan adanya titipan atau jatah pejabat pemerintah atau anggota legislatif yang mengharuskan pihak sekolah untuk menerimanya dengan membukakan jalur khusus seperti offline ‘luar jaringan’; 3) Tingkatan Sosial, yang menjelaskan bahwa pungutan liar (pungli) termasuk dalam kategori kejahatan jabatan. Konsepnya yaitu menyalahgunakan kekuasaan. Selain itu juga dipicu oleh faktor ekonomi yaitu kurangnya kesejahteraan dan faktor politik dalam masa transisi peralihan SMA dari Kota Makassar ke Provinsi.