Tinjauan Hukum Hak Politik Mantan Terpidana Korupsi Sebagai Peserta Pemilihan Umum Dalam Perspektif Hukum Tata Negara

Abstract

Pemilihan umum dan Pemilihan Kepala Daerah adalah momentum yang menentukan dalam kehidupan berdemokrasi. Pemilu dan Pilkada menjadi wadah utama untuk mengkuantifikasi suara rakyat dalam menjalankan transisi kepemimpinan dan pejabat pemerintahan dalam kekuasaan eksekutif dan legislatif. Saat ini, pemilihan umum menjadi bagian dari upaya untuk menyehatkan birokrasi, mengingat banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Pada 2018, KPU sempat melarang mantan terpidana korupsi untuk ikut dalam Pemilu, sedang UU No. 6 Tahun 2016 tentang Pilkada juga melarang mantan terpidana korupsi dalam Pilkada. Namun, putusan MA dan MK kemudian mengamputasi pembatasan tersebut. Analisis dalam penelitian ini akan membahas terkait dengan tinjauan hukum dalam perkara tersebut, dengan pendekatan yuridis-normatif. Dalam penelitian ini, diketahui bahwa kebolehan mantan terpidana korupsi untuk ikut dalam Pemilu dan Pilkada adalah bagian dari perlindungan HAM dan hak politik warga negara, serta implementasinya bergandengan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Pemberian ruang bagi mantan terpidana korupsi untuk tetap dapat menjadi peserta pemilihan umum dijamin secara normatif dalam undang-undang apabila telah memenuhi dua syarat, yakni melampaui masa tunggu selama lima tahun dan mengumumkan bahwa dirinya adalah mantan terpidana korupsi di hadapan publik. Syarat tersebut diorientasikan sebagai bentuk integritas dan memberi lebih banyak pertimbangan bagi konstituen untuk menentukan pilihan dan wakil politiknya dalam pemerintahan.