Teologi dan Teknologi dalam Pandangan Sekuralisasi di Era Post Modernitas

Abstract

Teologi dan Teknologi adalah dua hal yang menarik untuk dikaji disatu sisi kedua hal itu merupakan tindakan spritual sedangkan yang lain adalah rasional. Disisi lain  memiliki fokus yang berbeda, bahkan bisa disebut tidak memiliki hubungan di tinjau dari sudut pandang disiplin ilmu yang memiliki perbedaan yang kontras. Teologi yang acapkali disanggah dan dijadikan perbandingan dalam hal kemampuan rasio yang dimiliki kususnya dikalangan para ilmuan, teknokrat ataupun saintis. Dalam pengertian  seolah-oleh teologi  tidak dapat memberi jawaban terhadap masalah dalam teknologi. “Ketika diperhadapkan dengan sains, agama seakan-akan tidak  berdaya. Karena tuntutan yang dikemukakan apakah teologi dapat menyelesaikan hal-hal yang bersifat ilmiah. Disinilah para saintis (ilmuwan) yang ateis menantang agama untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Tentu saja jika pembuktian itu dituntut seperti pembuktian sains, Tuhan tidak mungkin dapat dibuktikan. Masalahnya adalah agama sudah ada terlebih dahulu dari sains (modern). Agama yang dalam konteks Eropa Barat adalah Kristen atau Yudaisme dan belakangan Islam sudah lama dikenal. Ketika saisn muncul dan berkembang ada hal-hal yang dulu diterima begitu saja dalam ajaran agama sekarang menjadi pertanyaaan dan sanggahan. Misalnya tentang penciptaan. Agama mengajarkan bahwa dunia ini ada karena diciptakan oleh Tuhan. Jadi bukan karena dengan sendirinya. Sedangkan sains memaparkan bagaimana bumi ini terjadi melalui pembuktian-pembuktian alami yang tidak memperlihatkan peranan Tuhan sama sekali”. Tetapi sebaliknya jika hal itu dijadikan pertanyaan terbalik tentu lebih tidak mudah lagi untuk memberi jawaban. Sementara dari pihak penganut paham sekuralisasi  lebih bernada sarkasme yang secara langsung memberi sanggahan terhadap doktrin kekristenan misalnya dalam hal pernikahan Kristen yang menjadi perbincangan hangat belakangan ini.  Gereja dianggap telah melanggar hak asasi seseorang di dalam memiliki jenis pernikahan. “Ketika masyarakat menganggap bahwa homoseksual adalah hak individual yang harus dihormati, sebagaimana masyarakat menganggap orang yang berzina dan berkumpul dan kumpul kebo” adalah hak individualnya yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain atau negara sekalipun. Maka negara-negara yang mengambil hukum sekuler juga tidak menganggap zina sebagai perbuatan kriminal. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia warisan Belanda, misalnya menyatakan bahwa perzinahan bukanlah suatu kejahatan. Hanya mereka yang terikat dengan perkawinan dan kemudian melakukan hubungan seks di luar pernikahan, dapat dikatakan sebagai perzinahan.”[2] Sesungguhnya jika dikaji secara bijak dan jernih perbincangan kaum ilmuwan dengan kaum rohaniawan memiliki dua kajian yang berbeda yang satu berorientasi kepada dunia sedangkan yang lain berorientasi pada sorga. Teori sumber teologi berasal dari kitab suci dalam hal kekristenan tentulah berpusat pada Alkitab. Sedangkan teknologi memiliki dasar dan sumber yang secara logis digali dari aspek alamiah yang diolah secara rasional.  Gereja dalam sejarah perkembangannya sudah meletakkan dasar pelayanan pada tiga hal yaitu: koinonia, marturia dan diakonia. Disatu sisi hal ini menunjukkan gereja terbuka terhadap pelayanan sosial dsb, akan tetapi hal itu tidak dapat ditarik  sebagai kompromi untuk secara bebas memanfaatkan fakta sejarah, karya Tuhan maupun kesaksian para tokok iman untuk maksud penelitian ilmiah semata-mata.  Otoritas Alkitab hanya dapat dikaji pada implementasi visi dan misi pemberitaan kabar baik yang bertujuan membangun kehidupan iman jemaat melalui pelayanan gereja. Teologi itu sendiri tidak dibangun oleh kemampuan ilmu pengetahuan melainkan inspirasi dari Roh Kudus atas nama Tuhan para nabi berbicara atas nama Tuhan. Sedangkan teknologi selalu berbicara sebagai ilmu pengetahuan. Tidak sedikit juga kalangan Kristen yang mencoba untuk menuntaskan hal ini dan mencari ayat-ayat yang tepat untuk membenarkan pendapat mereka yang dengan mencari persamaan konteks pada teks. Tidak bisa dipungkiri bahwa teologi membutuhkan teknologi sebagai sarana dan media  di dalam memberitakan firman Tuhan. Tetapi hal ini tidak akan mengubah hakekat teologi maupun teknologi baik dalam status maupun peranannya. Pertanyaan yang ditujukan di seputar bagaimana teologi menjawab teknologi jawaban yang paling tepat bahwa teknologi adalah alat sebagai sumbangsih peradaban dan kebudayaan untuk tujuan kemajuan hidup yang lebih baik. Teologi bersifat absolute sedangkan teknologi bersifat relatif sifat konstan pada teologi bukan berarti menurunkan kemampuannya sehingga berada di bawah teknologi melainkan di setiap perubahan teknologi, teologi menjadi sumber inspirasi dan kreasi. Dengan makna yang sederhana teologi berbicara terhadap hal-hal yang subjektivtas sedangkan objeknya bisa berada pada lingkup teknologi sebagai hasil dan bukan proses. Proses pada produktivitas membutuhkan kreasi yang berasal dari hikmat Tuhan berdasarkan Alkitab kemudian ditunjukkan kemudian oleh hasil. Yohanes 1: 1-3, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang dijadikan.” Pencipta dan yang diciptakan sama –sama berada tetapi yang satu mengadakan yang lain diadakan. Jika tidak demikian maka kehidupan akan berubah mundur dan tidak akan ada kemajuan seandainya teknologi menjadi yang utama dalam kehidupan manusia. Sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang lain memiliki peranan sebagai objek dan bukan subjek terhadap teologi. Salah satu pertanyaan pokok yang bukan saja menyibukkan filsafat tetapi juga teologi ialah: bagaimana kemauan, atau kehendak, manusia dapat dipahami, apakah ia bebas ataukah ditentukan dari luar (yakni oleh Allah atau “nasib” dan sebagainya”)? Adakah predestinasi (takdir) bahwa Allah menentukan sega-galanya yang terjadi dan tidak ada kebebasan bagi manusia untuk menentukan sendiri? Mengikuti garis pemikiran Spinoza, sebenarnya hanya ada satu jawaban: Segala-galanya ditentukan oleh Allah, karena substansi manusia adalah substansi Allah, dan Dialah yang menentukan. Hanya saja manusia tidak memahami kenyataan itu sehingga beranggapan bahwa ia sendiri yang menentukan kehendak dan perbuatannya. Atau bahwa Allah memaksakan kemauan-Nya atas diri manusia. Jadi, pada hakikatnya manusia tidak bebas. Dua hal yang berkembang yang mewarnai abad post modern inilah yang  akan dibahas dalam karya ilmiah ini