BERTAHAN DALAM PERUBAHAN: Modifikasi dan Afiliasi Politik Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Aceh
Abstract
Sebuah organisasi sosial-keagamaan secara alamiah memiliki naluri untuk bertahan dalam perubahan sosial yang ada di sekitarnya, termasuk gerakan tarekat. Perubahan ini dilakukan untuk mengumpulkan lebih banyak jamaah dan mempertahankan eksistensi gerakan di tengah lingkungannya. Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Aceh merupakan tarekat yang masih baru dibandingkan tarekat lain yang sudah ada di sana sebelumnya. Perubahan politik yang dinamis di Aceh juga mempengaruhi perubahan dalam bidang keagamaan. Artikel ini akan mencoba menjelaskan proses perubahan yang terjadi dalam gerakan tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, bentuk perubahannya, dan relasi perubahan tersebut dengan kekuasaan. Dari pengamatan dan wawancara yang penulis lakukan dengan kelompok pelaku tarekat tampak bahwa perubahan dalam tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang ada di Aceh terkait erat dengan peran yang dimainkan oleh aktor-aktor tarekat sebagai agensinya. Perubahan itu juga berbeda antara apa yang dilakukan oleh satu tokoh dengan tokoh lainnya. Penulis berpendapat bahwa perubahan dalam tarekat di Aceh mengarah kepada upaya membangun eksistensi diri di tengah perubahan sosial politik yang ada di sana. Para aktor menyesuaikan praktik tarekat untuk masyarakat urban sehingga mendapat lebih banyak pengikut bahkan terkadang dengan menyamarkan nama tarekat di belakangnya. A socio-religious organization naturally has the instinct to survive in the social changes that surround it, including the tarekat movement. This change was made to gather more worshipers and maintain the existence of the movement in its environment. The Naqsyabandiyah Khalidiyah sufi order in Aceh is a relatively new compared to other tarekat that have existed there before. This article will try to explain the process of change that occurred in the Naqsybanadiyah tarekat movement in Aceh, the form of change, and the relationship between these changes and power. From the observations and several interviews that the author conducted with groups of tarekat actors, it appears that changes in the Naqsyabandiyah Khalidiyah tarekat in Aceh are closely related to the role played by actors as their agencies. The changes also differ between what one character does to another. The author argues that changes in tarekat in Aceh lead to efforts to build self-existence in the socio-political changes that are there. Actors adapt tarekat practices to urban communities so as to gain more followers, sometimes even by disguising the tarekat name behind them