AKAD GADAI MENURUT IMAM ASY SYAFI’I

Abstract

ABSTRAKSudah menjadi kebiasaan manusia apabila mereka menemui masalah keuangan, solusi terakhir yang dilakukan bila sudah tidak ada lagi asset yang bisa di jual atau tidak ingin menjual asset, caranya adalah dengan berhutang. Namun apabila dirasa sulit mendapatkan hutang dan ia masih memiliki asset dan berniat tidak mau menjualnya atau pun melepasnya, maka asset itu dijadikan jaminan pada hutang tersebut agar dapat lebih meyakinkan pemberi hutang. Dengan adanya aset yang dijaminkan maka mekanisme hutangnya pun berubah menjadi gadai, dengan besarnya hutang disesuaikan dengan nilai jual atau nilai pasar asset tersebut pada saat itu. Berbeda dengan hutang biasa, dimana besarnya hutang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pemohon. Imam Asy Syafi’i sekitar 13 abad yang lalu sudah memberikan pemikirannya berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits tentang cara melaksanakan akad gadai ini. Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah bertujuan untuk melihat sejauh mana Imam Asy Syafi’i memberikan batasan-batasan dari gadai ini serta untuk menunjukkan bahwa beliau tidak hanya faqih dalam Fiqh ibadah saja. ABSTRACTIt is human habit when they face the financial problems, the last solution if there is no more asset to be sold or if they are not intend to sell, so the solution is debt. However, if they still has assets that are considered valuable but they don’t want to sell it or release it, then the assets are used as collateral in debt in order to convince the creditor. With the existence of collateral, the mechanism of debt has changed, becoming mortgage where the amount of debt is adjusted to the market value of the assets. Different from the ordinary debt, where the amount is in accordance with what is required by the applicant. Imam Ash Shafi’i about 13 centuries ago had given his thoughts based on the Holy Qur’an and Al Hadith on how to carry out this mortgage contract. This research aims to see the extent to which Imam Ash Shafi’i provides the limitations of this contract and to show that he is not only faqih in the Fiqh Ibadah.