Hukum Sunat Perempuan Dalam Pemikiran Musdah Mulia

Abstract

Controversy regarding female genital mutilation based on arguments occurred from various circles, both scholars, health experts and academics. Indonesia did not escape the debate. The Indonesian Ulama Council (MUI) and the two largest Islamic Community Organizations (Ormas) in Indonesia issued different fatwas. MUI has a sunnah fatwa, the Batsul Masa'il Institute of Nahdlatul Ulama (NU) has a sunnah and obligatory fatwa, and the Muhammadiyah Tarjih Institute condemns it as haram. In the midst of the heat of this feud, Musdah Mulia, a progressive Muslim feminist, came up with her thoughts on banning female genital mutilation. The focus of this research is Musdah Mulia's thoughts on female genital mutilation. This study aims to determine the characteristics and legal arguments of Musdah Mulia's thoughts on female genital mutilation. This study uses qualitative methods, while in collecting data the author used primary data in the form of interviews and secondary data from literature review in the form of books, articles and publications of scientific papers related to research. As for the analysis, the author used descriptive analysis method, which is a way of writing that prioritizes observations of actual symptoms, events and conditions in the present and then concludes things that are considered important and relevant. The results of the research show that Musdah Mulia's thoughts on female genital mutilation based on the arguments in the Al-Qur'an and Hadits. Musdah also emphasized aspects of benefit, basic medical and human rights. Practicing female circumcision is tantamount to doing things that are dangerous to women. Therefore, based on the above considerations, Musdah Mulia said the appropriate rule of law is la ḍarara wa la ḍirar, the meaning of which is to stay away from something dangerous is prioritized. Abstrak Kontroversi mengenai sunat perempuan dengan dilandaskan argumentasi-argumentasi terjadi dari berbagai kalangan, baik ulama, ahli kesehatan maupun akademisi. Indonesia tidak luput dari perdebatan tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga dua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di Indonesia mengeluarkan fatwa yang berbeda. MUI berfatwa sunnah, Lembaga Batsul Masa’il dari Nahdlatul Ulama (NU) berfatwa sunnah dan wajib, dan Lembaga Tarjih Muhammadiyah menghukumi haram. Di tengah hangatnya perseteruan ini, Musdah Mulia, seorang feminis muslim progresif, muncul dengan pemikirannya yang melarang sunat perempuan. Fokus dari penelitian ini adalah pemikiran Musdah Mulia tentang sunat perempuan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui karakteristik dan juga argumentasi hukum pemikiran Musdah Mulia tentang sunat perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dalam mengumpulkan data penulis menggunakan data primer berupa wawancara dan data sekunder kajian kepustakaan berupa buku, artikel dan publikasi karya ilmiah. Analisis yang penulis gunakan metode deskriptif analisis, yaitu cara penulisan yang mengutamakan pengamatan terhadap gejala, peristiwa dan kondisi aktual pada masa kini kemudian menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting dan relevan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Musdah Mulia tentang sunat perempuan didasarkan oleh dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Hadis. Musdah juga menekankan aspek kemaslahatan, dasar medis dan hak asasi manusia. Dengan melakukan praktik sunat perempuan berarti sama saja dengan melakukan hal yang berbahaya kepada perempuan. Oleh karenanya, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Musdah Mulia mengatakan kaidah hukum yang tepat adalah la ḍarara wa la ḍirar, maksudnya adalah menjauhi sesuatu yang membahayakan diutamakan.