Status Teungku Imum Gampong Dalam Memperoleh Hak Amil Zakat

Abstract

Dalam tradisi masyarakat Aceh, zakat biasanya dikelola oleh Teungku Imum gampong dan beberapa orang pembantunya. Hanya saja, Imum Gampong dispekulasikan tidak dilantik oleh imam dalam hal pengelolaan zakat sehingga perlu dilakukan kajian terkait validalitasnya sebagai amil zakat serta sebagai penerima zakat. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dalam kajian hukum fiqh. Adapun jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi normatif. Adapun kesimpulan yang ditemukan melalui kajian ini adalah: pertama, amil zakat dalam perspektif fiqh Syafi'iyah harus memiliki kriteria sebagai berikut yaitu Muslim, Mukallaf, bersifat adil, merdeka, bisa melihat dan mendengar, laki-laki, faqih dalam urusan zakat, bukan dari keluarga ahlul bait serta bukan maula mu’tiq dari keluarga ahlul bait. Kedua, dalam UU dan Qanun Aceh nomor 10 tahun 2018 tersebut lebih tepatnya pada Bab II bagian keempat Paragraf 1 pasal 13 ayat (4) bahwa Imum Gampong, baik itu imum mesjid/meunasah termasuk orang yang memiliki wewenang untuk mengelola zakat, walaupun tidak dilantik secara khusus oleh geuchik maupun camat. Tetapi jabatan pengelola zakat tersebut diperoleh oleh Imum Gampong secara ex officio, artinya dengan semata-mata ia dilantik sebagai Imum Gampong maka dengan sendirinya menjadi pengelola zakat. ketiga, Berdasarkan qanun di atas dapat disimpulkan bahwa Imum Gampong berhak menjadi amil zakat yang bertugas mengelola harta zakat. Namun yang perlu digarisbawahi adalah Sekalipun Imum Gampong berkedudukan sebagai ketua BMG sekaligus amil zakat, akan tetapi ia tetap tidak bisa mengambil hak amil, karena tugasnya bersifat umum. Jika Imum Gampong tidak mengelola zakat dengan sukarela, maka gajinya diambil pada  1/5 dari 1/5 harta kemaslahatan kaum muslimin (baitul mal).