Akibat Hukum Tafwidh Mahar dalam Perspektif Fiqh Syafi’iyah
Abstract
Nikah tafwidh, yaitu jika akad pernikahan sahih, akan tetapi tanpa menyebutkan mahar. Penjabaran nikah tafwidh mahar dan kedudukan mahar umumnya masih simpang siur dalam lingkungan masyarakat, serta dampak yang timbul dari permasalahan tersebut. Sehingga memerlukan titik temu atau benang merah yang mampu memberi pemahaman yang akurat berdasarkan hukum Islam bermazhab Syafi’i. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian library reserch dan dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data dari catatan-catatan, transkrip, kitab-kitab turats dan buku-buku. Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik content analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hukum tafwidh mahar adalah boleh namun makruh, Karena sunat hukumnya menyebutkan mahar dalam akad nikah. Meskipun ada beberapa kasus yang mewajibkan penyebutan mahar. Adapun tafwidh mahjur alaih (yang terlarang menggunakan harta) dan terhadap saghirah (perempuan yang masih kecil) tidak sah dan apabila telah berlaku tafwidh secara sahih (sah), maka akibat hukum yang timbul yaitu menurut pendapat yang kuat dengan semata-mata akad tidak mewajiblkan apapun kepada mempelai suami untuk diberikan kepada mempelai isteri. Namun apabila berlaku tafwidh yang fasid (rusak, tidak sah), maka wajib membayar mahar mitsil dengan terlaksananya akad nikah. Maka dapat dipahami dari konteks pembahasan di atas hanya dengan akad saja tidak dapat mewajibkan apapun terhadap suami bagi isteri, akan tetapi kewajiban suami untuk memberikan hartanya adalah dengan sebab suami menentukan kadar mahar atau bersenggama ataupun dengan sebab kematian. Tiga unsur itu yang menyebabkan mahar wajib diberikan kepada isteri, meskipun ketiganya itu berpunca pada akad.