Praktik Seksualitas Menyimpang Masyarakat Muslim-Minangkabau: Kajian Neo-Historisisme terhadap Film Titian Serambut Dibelah Tujuh
Abstract
This article discusses the practices of deviant sexuality in the Muslim-Minangkabau community depicted in early Indonesian films in relation to the socio-cultural context in the film as well as the socio-cultural context when the film was produced. The film in question is Titian Serambut Dibelah Tujuh by Asrul Sani. In this film some of the deviant practices of sexuality depicted are homosexuality, lesbianity, and hypersexuality (through the practice of rape). Using a neo-historicalism approach, which looks at the relation of literary texts (films) to their historical space and time, the narratives in this film relate to the context of their presence in the midst of Indonesian social reality and the setting of the film itself: this film exists as a critique of moral decadence The Old Order, which celebrates sexuality in public spaces and on the other hand, also describes the background society (which is also where the writer of the scenario came from) where the practices of sexuality diverged have their own traces in the history of this society.Artikel ini membahas praktik-praktik seksualitas menyimpang di tengah masyarakat Muslim-Minangkabau yang digambarkan dalam film Indonesia awal dalam relasinya dengan konteks sosial-budaya dalam film maupun konteks sosial-budaya ketika film ini diproduksi. Film yang dimaksud adalah Titian Serambut Dibelah Tujuh karya Asrul Sani. Dalam film ini beberapa praktik seksualitas menyimpang yang digambar adalah homoseksualitas, lesbianitas, dan hiperseksualitas (lewat praktik perkosaan). Dengan menggunakan pendekatan neo-historisisme, yang melihat relasi teks sastra (film) dengan ruang dan waktu historisnya, narasi-narasi dalam film ini terkait dengan konteks kehadirannya di tengah realitas sosial Indonesia dan latar filmnya itu sendiri: film ini hadir sebagai kritik atas dekadensi moral Orde Lama yang merayakan binalitas-seksualitas di ruang publik dan di sisi lain, juga menggambarkan masyarakat latar (yang juga dari mana si penulis skenarionya berasal) di mana praktik-praktik seksualitas menyimpang punya jejaknya tersendiri dalam sejarah puak ini.