Tuduhan Berzina (Qazfu Al-Zina) dalam Kajian Teologis dan Sosiologis

Abstract

Dalam fikih Islam kasus suami menuduh isterinya melakukan zina disebut Qażfu al-Zina. Jika terjadi hal seperti itu − menurut Alquran − langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menyelesaikan masalah tersebut ialah dengan menyuruh suami mendatangkan saksi empat orang. Jika ia tak bisa mendatangkan saksi sebanyak itu, ia harus bersumpah atas nama Allah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa tuduhannya itu benar, bukan fitnah. Setelah itu ia harus mengucapkan sumpah sekali lagi (yang kelima) di mana ia harus mengatakan bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika tuduhannya itu tidak benar (palsu). Setelah suami mengucapkan sumpah demikian, ia terbebas dari hukuman menuduh berzina, yakni didera atau cambuk 80 kali. Adapun isteri yang dituduh berbuat zina, ia harus dijatuhi hukuman rajam jika ia tidak menyangkal sumpah suaminya. Tetapi jika ia bersumpah empat kali menyangkal kebenaran sumpah suaminya, dan ia bersumpah yang kelima dengan menyatakan bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika tuduhan suaminya itu benar, maka ia terbebas dari hukuman. Sumpah mereka disebut sumpah li’an, dan perempuan tersebut dinamakan mula'anah. Akibat sumpah li’an ini hubungan perkawinan keduanya putus selamanya. Jika isteri dalam keadaan hamil, anak yang akan dilahirkan nanti hanya punya hubungan dengan ibunya. Dalam kehidupan masyarakat seringkali terjadi isteri yang menuduh suaminya berbuat zina. Maka dalam penelitian ini, penulis akan menelusuri bagaimana langkah-langkah menyelesaikan kasus itu dan bagaimana akibat hokum dari tuduhan itu. Penulis juga akan menjelaskan mengapa Alquran mengharuskan dengan adanya empat orang saksi dan bagaimana dengan hukuman zina yang tidak bisa dijalankan karena hokum yang berlaku bukan hokum Islam. Apakah istighfar saja sudah cukup sebagai pengganti hukuman. Hal-hal tersebut penulis deskripsikan secara mendalam dengan menggunakan dalil naqli maupun aqli. Dari berbagai argument yang penulis dapatkan, penulis berkesimpulan bahwa sekalipun ayat yang berkenaan dengan hukuman zina itu bersifat jelas, tidak mengandung keraguan (qath'i), tetapi masih ada ruang untuk tidak menerapkan had sebagaimana yang ada dalam Alquran dan berpindah kepada bentuk hukuman lain yang juga dapat membuat pelaku pelangaran menjadi jera. Sebab, yang dikehendaki dari pensyari'atan sanksi hukuman (had) adalah untuk mendukung agar tujuan dari hukum pokoknya bisa diwujudkan. Selanjutnya Allah membuka ruang untuk tobat dan beristighfar.Tetapi istighfar yang tidak diiringi dengan tobat, Allah tidak akan mengampuni dosanya lagi. Allah akan menjatuhkan azab untuknya di akherat.