Ketiadaan Batas Minimum Khusus ‘Uqubat Restitusi Dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat Dalam Konteks Perkembangan Hukum Pidana

Abstract

Masalah sistem minimum khusus erat kaitannya dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki terpidana maupun masyarakat, juga berkaitan erat dengan tujuan pembaharuan hukum pidana yaitu untuk penanggulangan kejahatan. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengaturan restitusi dalam Qanun Jinayat dilihat dari perkembangan hukum pidana terkait minimum dan maksimum pidana, dan bagaimana mekanisme permintaan restitusi oleh korban dalam konteks Qanun Jinayat. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan pengaturan restitusi dalam Qanun Jinayat dilihat dari perkembangan hukum pidana terkait dengan minimum dan maksimum pidana serta menganalisis mekanisme permintaan restitusi oleh korban dalam konteks Qanun Jinayat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ‘Uqubat restitusi yang terdapat dalam Qanun Jinayat hanya menyebutkan batasan maksimum khususnya saja tanpa menyebutkan batas minimum khususnya. Hal ini tidak sesuai dan tidak sejalan dengan perkembangan hukum pidana yang mengharuskan penyertaan batasan minimum khusus terhadap delik-delik yang dianggap sangat berbahaya dan meresahkan masyarakat. Ketiadaan batas minimum ‘uqubat restitusi tersebut, memberi kemungkinan terjadinya disparitas pidana. Saran dalam masalah ini kepada Pemerintah Aceh dan para pembuat kebijakan lainnya harus memperbaiki Qanun Jinayat dengan merumuskan batas minimum khusus terhadap ;uqubat restitusi. Sehingga kecil kemunkinan terjadinya disparitas pidana. Kemudian untuk korban tindak pidana berat seharusnya tetap mendapatkan ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh pelaku (restitusi) tanpa harus mengajukan permohonan perdata kepada majelis hakim yang memeriksa perkara. Dengan demikian, akan lebih mengakomodir hak korban tindak pidana yang merugikan orang lain sekaligus menyiratkan penegakan hukum yang adil dan melindungi HAM warga Negara.The problem  of Specific minimum system are intrinsically related to thepurpose of punishment, that are to reeducate the convicted and the community,and it is also closely related to the purpose of criminal law renewal, that is crimeprevention. The problem is how the regulation of restitution in Qanun Jinayatseen from the development of criminal law relating to the minimum and maximumpunishment, and how the mechanism for requesting the restitution by victims inthe context of the Qanun Jinayat. This   research   aims   to   understand   and explain restitution legislation in Qanun Jinayat seen from the development of criminal law relating to the minimum and maximum punishment, and analyze how is the mechanism for requesting the restitution by victims in the context of the Qanun Jinayat. The research show that restitution punishment ruled in Qanun Jinayat onlyprovides maximum limit especially only without stating the special minimum limit. It is not in accordance and in line with criminal law development that is obligating the incorporation of special minimum limit towards serious crimes and dangerous for society. The absence of restitution sanction results in the possibilityof punishment disparities.It is recommended that the Government of Aceh policy makers should revise the Qanun Jinayat by incorporating special minimum limit the restitution sanction. Thus, it avoids the possibility of disparity in the court decision. In addition, for the victims of serious crimes ideally have right to get   the compensation that must be provides by the violators (restitution) without suing inthe civil cases before the court truing the cases. Therefore, it can provide better rights for victims as well as it enforce the better law and protect human rights.