Membangun Kesadaran Gender Tentang Wali Nikah dan Sakis Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Maqashid al-Syari`ah Approach)

Abstract

Begitu banyak masalah yang dapat ditemukan dalam hukum keluarga Islam jika dirujuk melalui pendekatan modern, terutama tentang kesetaraan gender. Mulai dari aturan wali nikah yang dikendalikan oleh laki-laki, pembagian warisan yang didominasi oleh laki-laki, ketentuan tentang saksi yang melemahkan eksistensi perempuan, dll. Dalam konteks Indonesia, penting untuk menganalisis masalah wali dan saksi, melalui pendekatan maqashid al-syari’ah, dan akan menemukan solusi di mana wali nikah adalah unsur primer mengenai menjaga kehormatan, dan tentang saksi, ia merupakan unsur sekunder yang berfungsi untuk melengkapi tujuan utama pernikahan. Melalui klasifikasi tersebut, ditemukan bahwa unsur primer tentang wali nikah dan unsur sekunder tentang saksi, memunculkan perbedaan yang sangat signifikan antara Arab dan konteks Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi di bidang hukum keluarga Islam melalui pendekatan budaya, sehingga responsif di Indonesia. Jika dalam budaya Arab kekerabatan patrilineal begitu menguasasi, sedangkan di Indonesia terdapat multi kekerabatan yang kompleks, seperti patrilineal, matrilineal dan bilateral, maka ia berimplikasi kepada kebutuhan perubahan yang membawa solusi, sesuai dengan kearifan lokal yang hidup di Indonesia, seperti pelaksanaan kesetaraan gender secara terbuka.Kata Kunci :  Maqasyid al-Syari’ah, Wali Nikah, Saksi, Kearifan Lokal, dan Pembaharuan Hukum There are a lot of problems discovered in the Islamic family law when they are observed through modern approaches, especially on the issue of gender equality. It ranges from the rule of the bride’s guardian which is controlled by men, the distribution of inheritance which is dominated by men, the witness requirements that weaken women role, to others. In Indonesian context, it is important to analyse the matters of guardians and witness through foundational goals of Islam (maqashid syariah) approaches and it will find solution where a bride’s guardian becomes a primary element for protecting honors, and about witness, it will serve as a secondary element to complete the main goal of marriage. Through those classifications, it is found that the primary and secondary elements emerge significant differences between Arabic and Indonesian contexts. Therefore, a reformed Islamic family law is neededthrough cultural approaches, that are responsive in Indonesia. The patrilineal kinship of the Arab culture is very controlling, whilst Indonesians have a complext multi kinships such as patrilineal, matrilineal and bilateral. Thus, it implies the needs of changes that will offer solutions that correspond with the local wisdom, as an application of gender equality.Keywords: Foundational goals of Islam (maqasid syariah), Bride’s guardian, witness, local wisdom and law reformation.