POSISI RUH DALAM REALITAS MENURUT IBNU QAYIM ALJAUZIYAH

Abstract

Makalah ini bertolak dari pemikiran, bahwa ruh memiliki peranan yang signifikan, baik dalam khazanah keilmuan Islam maupun non-Muslim. Dalam ajaran Islam, ditemukan indikasi, bahwa perbincangan tentang ruh hanya milik filosof dan ahli tasawuf. Sedang di kalangan non-Muslim, terutama para filosof mau tidak mau akhirnya mengakui  bahwa ruh memang diperlukan untuk menjawab hal-hal yang di luar pisik. Karena ruh berdimensi metafisik, maka pembahasannya lebih cocok dilakukan oleh para filosof yang mengedepankan pola-pola rasional. Ibnu Qayim adalah seorang pemikir Muslim dan pelanjut tradisi Salafiyah. Ia  meletakkan ruh bukan pada kajian tasawuf atau filsafat Islam, tetapi pada teologi, sekalipun sangat menolak pola-pola teologi yang dikembangkan kaum Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Baginya, pengkajian tentang ruh mesti dimulai dari dalil-dalil nash, pendapat dan pengalaman para sahabat atau tabi’in sebagai afirmasi. Setelah itu, mengemukakan pendapat kaum yang dianggap menyimpang sebagai negasi. Langkah terakhir, dikemukakan pendapatnya sendiri sebagai sintesa. Dari sejumlah informasi, ditemukan,  bahwa posisi ruh dalam realitas bagi Ibnu Qayim bersifat makhluk dan diciptakan. Ia tidak qadîm (terdahulu, lama) dan hadîts (baru). Eksistensinya meng-ada setelah eksis jasad. Ruh mengalami proses triadic, yang meliputi tahapan dialektis, serta kebebasan ruh yang bermakna pusat bagi dirinya sendiri.