KONSEP MAHABBAH IMAM AL-TUSTARI (200-283 H.)

Abstract

<p>Cinta (mahabbah) merupakan tujuan paling agung seorang ‘abid, dan, maksud yang paling mulia seorang yang ta’at kepada Allah. Banyak orang yang mengaku sebagai pecinta tetapi sungguh mereka bukan pecinta sejati. Allah menjelaskan siapa pecinta sejati (Q.S. Ali- Imran [3]:31), cinta bagi, untuk dan dari Allah senantiasa bertambah seiring bertambahnya iman (Q.S. Al-Baqarah [2]:165), cinta menyelamatkan orang mukmin dari ‘adzab Allah di dunia dan akhirat (Q.S. Al-Maidah [5]:18), merupakan anugerah dan pemberian Allah, dan pecinta sejati adalah mujāhid fῑ sabῑlillah Q.S. Al-Maidah [5]:54), dan pecinta selalu bersama kekasihnya (H.R. Bukhori Muslim). Alquran dan Hadis merupakan sumber ajaran tasawuf dan di tangan para sufi konsep mahabbah dikembangkan melalui proses internalisasi dan penajaman spiritual. Sudah banyak pembahasan tentang mahabbah dari para tokoh sufi ternama, namun untuk tokoh yang satu ini luput dari perhatian, padahal ia merupakan tokoh sufi generasi awal yang ajarannya banyak dibicarakan, dikutip dan mempengaruhi para ulama tasawuf sesudahnya. Sudah barang tentu banyak terdapat persamaan dan perbedaan antara dia dengan tokoh sufi lainnya. Tokoh sufi yang dimaksud penulis adalah Sahl bin Abdillah al-Tustarῑ. Selain sebagai ulama tasawuf beliau juga seorang mufasir, Tafsῑr al-Qur’ān al-‘Aẓῑm merupakan karya tafsirnya yang diakui oleh para mufasir sebagai icon tafsir sufi isyari. Diantara karyanya di bidang tasawuf yaitu Daqāiq al-Muhibbῑn, Mawā’iẓ al-‘Arifῑn, Jawābāt Ahl al-Yaqῑn, dan Al-Ghāyah li Ahl al-Nihāyah. Baginya mahabbah merupakan anugerah, pemberian dan karunia dari Allah dan bukan hasil amaliah dan usaha (kasb), ia merupakan pancaran atau limpahan dari Allah tanpa menunggu (intiẓār) atau permintaan dari seorang hamba. </p>